Dengan
sedikit tergesa aku melangkah diatas jembatan papan di Desaku. Sejak turun dari
angkutan umum yang membawaku tadi tak henti-hentinya aku melihat kesana kemari
disetiap sudut jalan. Aku sangat berharap kembali bertemu dengan sosok Rian
seperti sebulan yang lalu. Namun hingga teras rumahku terlihat, tak sedikitpun
bayangan Rian yang tertangkap oleh mataku. Akhirnya aku hanya bisa berjalan
lesu masuk ke dalam rumah.
Setelah mengucapkan salam, diruang
tamu kulihat Ayah tengah asyik membaca surat kabar dengan kaca mata bacanya
yang sedikit melorot. Kemudian aku langsung menuju kamar, kuhempaskan tubuhku
ditempat tidur seraya memejamkan mata sejenak.
Kuraih ponsel dari saku jaketku,
kucoba sekali lagi menghubungi Rian. Namun rupanya aku benar-benar belum
beruntung, lagi-lagi sambungannya sibuk. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim
SMS.
To
: Rian
Rian,
aku tak bisa menghubungimu. Hubungi aku kalau kamu sudah membaca SMS ini.
Sekarang aku ada dirumah. Kamu tahukan aku tak bisa berlama-lama disini, besok
aku akan kembali ke Kota.
Setengah jam berlalu setelah aku mengirim SMS
pada Rian. Namun ponselku tak juga bordering ataupun mengeluarkan suara tanda
ada SMS masuk.
Lagi-lagi kupejamkan mata,
sambil memikirkan kembali pembicaraan kami di puncak bukit saat itu. Entah
kenapa dadaku terasa amat sesak, hingga tanpa sadar butiran bening dari mataku
menetes, hingga akhirnya akupun terlelap dengan perasaan yang tak menentu.
Aku terbangun oleh suara ibu
yang memanggil namaku dari balik pintu kamar, kepalanya menyembul sedikit
diantara daun pintu. Beliau rupanya baru selesai mandi sore. Kulirik ponselku,
tak jua ada pesan masuk ataupun panggilan. Dengan perasaan malas akupun bangkit
dari tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil handuk untuk bersiap mandi
sore.
Setelah selesai membersihkan
diri aku membantu ibu mempersiapkan makanan untuk makan malam, sebentar lagi
maghrib. Kulihat Ayah sudah rapi dengan pakaian muslimnya, beliau biasa sholat
maghrib di Masjid besar, karena jaraknya memang tidaklah terlalu jauh dari
rumah.
Setelah lewat waktu maghrib,
aku bersegera menata makan malam sambil menunggu Ayah kembali dari Masjid.
Begitu beliau datang, kamipun makan malam bersama. Ibu sempat menanyakan kuliah
dan pekerjaanku. Aku pun menjawab dengan baik seperti biasanya.
Ayah juga mulai membahas
mengenai informasi politik yang beliau ketahui dari televise dan surat kabar.
Meskipun tergolong awam, Ayahku adalah tipe orang yang cukup sensitif terhadap
berita politik Negara ini. Beliau sempat berkomentar terhadap pemberitaan
mengenai konflik antara KPK dan Polri yang baru-baru ini beritanya makin
memanas. Tak lupa juga beliau mengamati kinerja pemimpin baru Negara ini.
Tak seperti biasanya yang
selalu antusias dengan obrolan atau komentar Ayah tentang kemelut politik
sekarang. Aku justru lebih banyak diam dan kurang menyimak tentang apa yang
Ayah katakan. Sebagai mahasiswa fakultas Ekonomi disalah satu Universitas
paling besar di Ibu Kota Provinsi ini, Ayah menaruh harapan besar padaku agar
kelak aku dapat mengamalkan ilmuku dengan benar untuk kemajuan Desa. Berulang
kali beliau mengingatkan aku agar dimana pun aku bekerja kelak, aku selalu
waspada dengan sesuatu yang berbau korupsi.
Pukul tujuh lewat 17 menit.
Tak lama lagi waktu masuk sholat Isya’. Setelah selesai makan malam, aku pun
menuju teras. Duduk di bangku kayu sambil memeluk kedua lututku. Sesekali
melirik layar ponsel. Entah kenapa aku saat ini sangat berharap Rian muncul
dihadapanku. Dia tak perlu bicara, cukup tersenyum manis seperti biasa saja
padaku, bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Tak lama kemudian aku melihat
sosok sahabatku dari SD muncul, namanya Putri. Dengan berkacak pinggang ia
berdiri dihadapanku.
“Heh… pulang kok nggak
bilang-bilang?” Putri langsung menodongku dengan pertanyaannya yang lebih mirip
omelan. Akupun langsung meluruskan dudukku.
“Halah kamu kayak nggak tau
aku aja, aku kan sebulan sekali pasti balik kesini, masa kudu lapor-lapor sama
kamu dulu, satpam kali” Cibirku pada Putri. Kulihat Putri malah ngakak, lalu
mengambil tempat duduk di sebelah kiriku.
“Hemmm.. waktu memang cepet
banget ya berlalu” Putri bicara sambil melayangkan pandangannya kearah langit
yang gelap yang dihiasi bintik-bintik cahaya kecil dikejauhan.
“Ah sok romantis, kenapa lagi
ini anak?” Ujarku bersungut-sungut sambil ikut memandang langit.
“Yah rasanya baru kemarin aja
aku jadi Mak Comblangnya kamu sam Rian” Celetuk Putri tanpa mengalihakan
tatapannya dari langit.
Aku tersenyum tipis, “Iya
deh, kamu memang Mak Comblang paling berbakat yang pernah ada” Jawabku mencoba
merespon kata-kata Putri. Namun Putri tiba-tiba memandangku dengan tatapan
heran.
“Eh kamu sebenernya udah tau
atau belum sih soal Rian?” Tanya Putri dengan tatapan menyelidik.
“Lho emangnya ada apa sama
Rian?” Seminggu yang lalu aku ada ketemu dia kok di Kota. Ngobrol bareng bahkan
jalan bareng juga” jawabku setengah heran dengan pertanyaan Putri.
“Jalan bareng? Lalu dia nggak
ngomong apa-apa soal….” Kata-kata Putri terputus, kulihat dia mengatupkan kedua
belah telapak tangannya ke mulutnya, seolah-olah dia sudah kelepasan bicara.
“Soal apaan?” Aku makin
curiga dengan gelagat Putri.
Dengan tatapan yang sulit
kumengerti, Putri menatapku dengan sikap kebingungan. Aku memberinya waktu agar
lebih rileks. Meskipun aku penasaran dengan apa yang ingin dia katakan, aku
mencoba menahan diri. Karena aku mengerti dengan baik seperti apa watak Putri.
Beberapa menit kemudia suara
Putri memecah kesunyian diantara kami. Dengan nada suara yang teramat berat
akhirnya Putri angkat bicara.
“Aku masih nggak percaya
kalau Rian nggak ngomong apa-apa soal dia sama kamu. Serius kamu nggak tau sama
sekali?” Putri kembali bicara dengan tatapan penuh penyesalannya.
“Enggak, aku malah makin
bingung sama ocehan kamu, udah ngomong aja kenapa sih?” Jawabku sambil
memain-mainkan gantungan ponselku.
“Besok Rian nikah Nung” Ujar
Putri dengan suara parau.
Jleeebh…!!! rasanya dadaku seperti
dihantam benda berat. Kata-kata Putri barusan benar-benar membuat pandangan
mataku seperti bergoyang kekiri dan kekanan. Aku masih tak bisa menerima dengan
baik apa yang dikatakan Putri barusan.
Hening… mungkin hampir
sepuluh menit aku mematung ditempatku. Disampingku Putri terlihat benar-benar
gelisah dan frustasi melihat aku yang tak juga bergeming setelah apa yang dia
katakan barusan. Hingga akhirnya aku pun bersuara memecah kesunyian diantara
kami berdua.
“Makasih ya Put, sudah ngasih
tau aku, setidaknya aku tahu apa alasannya Rian tiba-tiba menghilang seminggu
ini” Jawabku dengan nada getir.
Akhirnya malam itu Putri
pamit pulang setelah menceritakan semua persiapan pernikahan Rian. Dia akan
menikah dengan seorang gadis yang berasal dari kampong halaman Ayahnya. Menurut
Putri antara Rian dan gadis itu hanya terjadi perkenalan singkat. Karena
keluarga kedua belah pihak sudah saling menyetujui pernikahan tersebut.
Rian sempat mencoba menolak
perjodohan itu. Namun rupanya Ayahnya yang memiliki sifat keras dan Otoriter
itupun tak mampu dilawannya. Yang Rian bisa lakukan hanya mengulur waktu selama
mungkin, hingga ia bisa mendapat kesempatan untuk bertemu denganku sekali lagi.
Aku tahu dengan baik, sosok lelaki seperti Rian bukanlah tipe anak yang bisa
menentang keinginan orang tuanya. Sikap santunnya terhadap orang yang lebih tua
maupun sesama teman sudah menjadi ciri khas seorang Rian.
Kedatangan Rian seminggu yang
lalu tampaknya merupakan sebuah langkah baginya untuk menguatkan hati dan
niatnya untuk menolak perjodohan itu.
Akad nikahnya akan diadakan
jam sepuluh pagi besok dirumah Rian. Dan acara resepsinya akan di gelar
seminggu kemudian. Akhirnya kini aku merasa benar-benar telah menemukan jawaban
atas tingkah Rian pada saat terakhir kami bertemu.
Lagi-lagi aku mematung
dikamarku. Tak lagi aku menatap ponselku. Rasanya tak perlu lagi aku
mengharapkan ada telepon masuk atau pesan dari Rian. Aku terlalu malu mengakui
kebodohanku, kebodohanku yang tak bisa menangkap apa yang sedang dialami oleh
Rian saat itu. Malah aku dengan egois tetap memberikan ketidakpastian pada
Rian.
Rasanya ingin sekali aku
menangis, tapi air mata seperti enggan menetes. Tiba-tiba ponselku bordering.
Kutatap layar ponsel, tertera nama Rian disana. Rian menelepon, segera kusambar
ponselku. Namun aku kembali terdiam saat jariku siap menekan tombol hijau.
Mungkinkah malam ini Rian
ingin menjelaskan segalanya padaku? Mungkinkan Rian ingin mengatakan kalau
besok Ia akan menikah? Atau mungkin Rian hanya ingin mengucapkan salam
perpisahan?. Seketika aku bergidik ngeri. Entah kenapa aku jadi begitu takut
jika hal itu benar-benar terjadi. Meskipun sudah sejak beberapa hari ini aku
amat merindukan suara Rian.
Ponselku berhenti bordering,
aku bangkit dari kursi dikamarku, lalu menuju tempat tidur sambil memandangi
ponselku. Sekali lagi tampak dilayar ponselku nama Rian muncul. Dia menelepon
lagi. Aku hanya memandangi layar ponsel dalam diam. Aku seperti tak punya
kekuatan, bahkan hanya sekedar menekan tombol Oke pada ponselku.
Hingga panggilan itu
terhenti, aku masih menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Aku benar-benar
tak ingin mempercayai kenyataan jika Rian akan menikah besok. Kenapa harus
besok? Kenapa aku harus tahu semuanya bukan dari Rian langsung?. Beberapa saat
kemudian kulihat ada SMS masuk. Bagai tak ingin kehilangan kesempatan, aku
cepat-cepat membuka SMS dan mebaca pesan yang ada disana.
From
: Rian
Nuy,
sudah tidur? Maaf seminggu ini aku tidak memberimu kabar. Dan maaf juga jika
pada akhirnya aku tak bisa lagi menunggu hatimu. Sekeras apapun aku berusaha,
sepertinya keberuntungan sedang tidak memihak padaku. Sekuat apapun aku
mempertahankan dan menjaga hatiku hanya untuk kamu. Namun jika Tuhan tak
menginginkan aku memilikimu, aku bisa apa? Jangan salahkan dirimu, karena aku
tak bisa menyalahkanmu Nuy… Aku yg bersalah, karena dimataku kamu hanya berusaha jujur tentang
apa yg kamu rasakan.
Lalu pesan kedua pun masuk menyusul.
From
: Rian
Tapi
meskipun begitu, aku tetap akan mendoakan yg terbaik untukmu dan masa depanmu
nanti. Aku berharap kamu nggak syok berat atas hal ini. Aku percaya, kamu
wanita yg kuat. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti menyukaimu. Maaf jika
salam perpisahan ini terkesan seperti pengecut. Aku bahkan tak akan menolak
jika kamu menyebutku pecundang. Aku berharap suatu hari kamu akan menemukan
sosok yang bisa membuatmu menghilangkan keraguanmu. Sekali lagi aku minta maaf,
doaku untukmu, kelak semoga kamu selalu berbahagia, meskipun itu bukan denganku. Dan jika kelak kita bertemu kembali aku masih berharap kamu bisa mengatakan bahwa aku adalah lelaki yg pernah kamu sayangi.
Tanpa disadari, air mataku menetes
perlahan membasahi pipi. Inikah yang namanya perpisahan, seperti inikah rasanya
penyesalan, dan seperti inikah rasanya kehilangan. Kehilangan seseorang yang
bahkan tadinya sudah didepan mata. Aku kecewa, aku menyebut ini kebodohan, hanya karena
sedikit keraguan akhirnya aku kehilangan. Untuk sesaat aku sempat tertawa, mungkin lebih terlihat menyeringai karena marah, ketika teringat kaat-kata terakhir di SMS Rian barusan. Namun kemudian aku kembali merasa begitu sedih, perasaanku begitu kerdil ketika menyadari jika aku benar-benar telah kehilangan sosok yang akhir-akhir ini
secara diam-diam aku inginkan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar