Kamis, 27 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 4"


                 
                 Dengan sedikit tergesa aku melangkah diatas jembatan papan di Desaku. Sejak turun dari angkutan umum yang membawaku tadi tak henti-hentinya aku melihat kesana kemari disetiap sudut jalan. Aku sangat berharap kembali bertemu dengan sosok Rian seperti sebulan yang lalu. Namun hingga teras rumahku terlihat, tak sedikitpun bayangan Rian yang tertangkap oleh mataku. Akhirnya aku hanya bisa berjalan lesu masuk ke dalam rumah.
            Setelah mengucapkan salam, diruang tamu kulihat Ayah tengah asyik membaca surat kabar dengan kaca mata bacanya yang sedikit melorot. Kemudian aku langsung menuju kamar, kuhempaskan tubuhku ditempat tidur seraya memejamkan mata sejenak.
            Kuraih ponsel dari saku jaketku, kucoba sekali lagi menghubungi Rian. Namun rupanya aku benar-benar belum beruntung, lagi-lagi sambungannya sibuk. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim SMS.

To : Rian

Rian, aku tak bisa menghubungimu. Hubungi aku kalau kamu sudah membaca SMS ini. Sekarang aku ada dirumah. Kamu tahukan aku tak bisa berlama-lama disini, besok aku akan kembali ke Kota. 

            Setengah jam berlalu setelah aku mengirim SMS pada Rian. Namun ponselku tak juga bordering ataupun mengeluarkan suara tanda ada SMS masuk.
Lagi-lagi kupejamkan mata, sambil memikirkan kembali pembicaraan kami di puncak bukit saat itu. Entah kenapa dadaku terasa amat sesak, hingga tanpa sadar butiran bening dari mataku menetes, hingga akhirnya akupun terlelap dengan perasaan yang tak menentu.
Aku terbangun oleh suara ibu yang memanggil namaku dari balik pintu kamar, kepalanya menyembul sedikit diantara daun pintu. Beliau rupanya baru selesai mandi sore. Kulirik ponselku, tak jua ada pesan masuk ataupun panggilan. Dengan perasaan malas akupun bangkit dari tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil handuk untuk bersiap mandi sore.
Setelah selesai membersihkan diri aku membantu ibu mempersiapkan makanan untuk makan malam, sebentar lagi maghrib. Kulihat Ayah sudah rapi dengan pakaian muslimnya, beliau biasa sholat maghrib di Masjid besar, karena jaraknya memang tidaklah terlalu jauh dari rumah.
Setelah lewat waktu maghrib, aku bersegera menata makan malam sambil menunggu Ayah kembali dari Masjid. Begitu beliau datang, kamipun makan malam bersama. Ibu sempat menanyakan kuliah dan pekerjaanku. Aku pun menjawab dengan baik seperti biasanya.
Ayah juga mulai membahas mengenai informasi politik yang beliau ketahui dari televise dan surat kabar. Meskipun tergolong awam, Ayahku adalah tipe orang yang cukup sensitif terhadap berita politik Negara ini. Beliau sempat berkomentar terhadap pemberitaan mengenai konflik antara KPK dan Polri yang baru-baru ini beritanya makin memanas. Tak lupa juga beliau mengamati kinerja pemimpin baru Negara ini.
Tak seperti biasanya yang selalu antusias dengan obrolan atau komentar Ayah tentang kemelut politik sekarang. Aku justru lebih banyak diam dan kurang menyimak tentang apa yang Ayah katakan. Sebagai mahasiswa fakultas Ekonomi disalah satu Universitas paling besar di Ibu Kota Provinsi ini, Ayah menaruh harapan besar padaku agar kelak aku dapat mengamalkan ilmuku dengan benar untuk kemajuan Desa. Berulang kali beliau mengingatkan aku agar dimana pun aku bekerja kelak, aku selalu waspada dengan sesuatu yang berbau korupsi.
Pukul tujuh lewat 17 menit. Tak lama lagi waktu masuk sholat Isya’. Setelah selesai makan malam, aku pun menuju teras. Duduk di bangku kayu sambil memeluk kedua lututku. Sesekali melirik layar ponsel. Entah kenapa aku saat ini sangat berharap Rian muncul dihadapanku. Dia tak perlu bicara, cukup tersenyum manis seperti biasa saja padaku, bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Tak lama kemudian aku melihat sosok sahabatku dari SD muncul, namanya Putri. Dengan berkacak pinggang ia berdiri dihadapanku.
“Heh… pulang kok nggak bilang-bilang?” Putri langsung menodongku dengan pertanyaannya yang lebih mirip omelan. Akupun langsung meluruskan dudukku.
“Halah kamu kayak nggak tau aku aja, aku kan sebulan sekali pasti balik kesini, masa kudu lapor-lapor sama kamu dulu, satpam kali” Cibirku pada Putri. Kulihat Putri malah ngakak, lalu mengambil tempat duduk di sebelah kiriku.
“Hemmm.. waktu memang cepet banget ya berlalu” Putri bicara sambil melayangkan pandangannya kearah langit yang gelap yang dihiasi bintik-bintik cahaya kecil dikejauhan.
“Ah sok romantis, kenapa lagi ini anak?” Ujarku bersungut-sungut sambil ikut memandang langit.
“Yah rasanya baru kemarin aja aku jadi Mak Comblangnya kamu sam Rian” Celetuk Putri tanpa mengalihakan tatapannya dari langit.
Aku tersenyum tipis, “Iya deh, kamu memang Mak Comblang paling berbakat yang pernah ada” Jawabku mencoba merespon kata-kata Putri. Namun Putri tiba-tiba memandangku dengan tatapan heran.
“Eh kamu sebenernya udah tau atau belum sih soal Rian?” Tanya Putri dengan tatapan menyelidik.
“Lho emangnya ada apa sama Rian?” Seminggu yang lalu aku ada ketemu dia kok di Kota. Ngobrol bareng bahkan jalan bareng juga” jawabku setengah heran dengan pertanyaan Putri.
“Jalan bareng? Lalu dia nggak ngomong apa-apa soal….” Kata-kata Putri terputus, kulihat dia mengatupkan kedua belah telapak tangannya ke mulutnya, seolah-olah dia sudah kelepasan bicara.
“Soal apaan?” Aku makin curiga dengan gelagat Putri.
Dengan tatapan yang sulit kumengerti, Putri menatapku dengan sikap kebingungan. Aku memberinya waktu agar lebih rileks. Meskipun aku penasaran dengan apa yang ingin dia katakan, aku mencoba menahan diri. Karena aku mengerti dengan baik seperti apa watak Putri.
Beberapa menit kemudia suara Putri memecah kesunyian diantara kami. Dengan nada suara yang teramat berat akhirnya Putri angkat bicara.
“Aku masih nggak percaya kalau Rian nggak ngomong apa-apa soal dia sama kamu. Serius kamu nggak tau sama sekali?” Putri kembali bicara dengan tatapan penuh penyesalannya.
“Enggak, aku malah makin bingung sama ocehan kamu, udah ngomong aja kenapa sih?” Jawabku sambil memain-mainkan gantungan ponselku.
“Besok Rian nikah Nung” Ujar Putri dengan suara parau.
Jleeebh…!!! rasanya dadaku seperti dihantam benda berat. Kata-kata Putri barusan benar-benar membuat pandangan mataku seperti bergoyang kekiri dan kekanan. Aku masih tak bisa menerima dengan baik apa yang dikatakan Putri barusan.
Hening… mungkin hampir sepuluh menit aku mematung ditempatku. Disampingku Putri terlihat benar-benar gelisah dan frustasi melihat aku yang tak juga bergeming setelah apa yang dia katakan barusan. Hingga akhirnya aku pun bersuara memecah kesunyian diantara kami berdua.
“Makasih ya Put, sudah ngasih tau aku, setidaknya aku tahu apa alasannya Rian tiba-tiba menghilang seminggu ini” Jawabku dengan nada getir.
Akhirnya malam itu Putri pamit pulang setelah menceritakan semua persiapan pernikahan Rian. Dia akan menikah dengan seorang gadis yang berasal dari kampong halaman Ayahnya. Menurut Putri antara Rian dan gadis itu hanya terjadi perkenalan singkat. Karena keluarga kedua belah pihak sudah saling menyetujui pernikahan tersebut.
Rian sempat mencoba menolak perjodohan itu. Namun rupanya Ayahnya yang memiliki sifat keras dan Otoriter itupun tak mampu dilawannya. Yang Rian bisa lakukan hanya mengulur waktu selama mungkin, hingga ia bisa mendapat kesempatan untuk bertemu denganku sekali lagi. Aku tahu dengan baik, sosok lelaki seperti Rian bukanlah tipe anak yang bisa menentang keinginan orang tuanya. Sikap santunnya terhadap orang yang lebih tua maupun sesama teman sudah menjadi ciri khas seorang Rian.
Kedatangan Rian seminggu yang lalu tampaknya merupakan sebuah langkah baginya untuk menguatkan hati dan niatnya untuk menolak perjodohan itu.
Akad nikahnya akan diadakan jam sepuluh pagi besok dirumah Rian. Dan acara resepsinya akan di gelar seminggu kemudian. Akhirnya kini aku merasa benar-benar telah menemukan jawaban atas tingkah Rian pada saat terakhir kami bertemu.
Lagi-lagi aku mematung dikamarku. Tak lagi aku menatap ponselku. Rasanya tak perlu lagi aku mengharapkan ada telepon masuk atau pesan dari Rian. Aku terlalu malu mengakui kebodohanku, kebodohanku yang tak bisa menangkap apa yang sedang dialami oleh Rian saat itu. Malah aku dengan egois tetap memberikan ketidakpastian pada Rian.
Rasanya ingin sekali aku menangis, tapi air mata seperti enggan menetes. Tiba-tiba ponselku bordering. Kutatap layar ponsel, tertera nama Rian disana. Rian menelepon, segera kusambar ponselku. Namun aku kembali terdiam saat jariku siap menekan tombol hijau.
Mungkinkah malam ini Rian ingin menjelaskan segalanya padaku? Mungkinkan Rian ingin mengatakan kalau besok Ia akan menikah? Atau mungkin Rian hanya ingin mengucapkan salam perpisahan?. Seketika aku bergidik ngeri. Entah kenapa aku jadi begitu takut jika hal itu benar-benar terjadi. Meskipun sudah sejak beberapa hari ini aku amat merindukan suara Rian.
Ponselku berhenti bordering, aku bangkit dari kursi dikamarku, lalu menuju tempat tidur sambil memandangi ponselku. Sekali lagi tampak dilayar ponselku nama Rian muncul. Dia menelepon lagi. Aku hanya memandangi layar ponsel dalam diam. Aku seperti tak punya kekuatan, bahkan hanya sekedar menekan tombol Oke pada ponselku.
Hingga panggilan itu terhenti, aku masih menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Aku benar-benar tak ingin mempercayai kenyataan jika Rian akan menikah besok. Kenapa harus besok? Kenapa aku harus tahu semuanya bukan dari Rian langsung?. Beberapa saat kemudian kulihat ada SMS masuk. Bagai tak ingin kehilangan kesempatan, aku cepat-cepat membuka SMS dan mebaca pesan yang ada disana.
From : Rian

Nuy, sudah tidur? Maaf seminggu ini aku tidak memberimu kabar. Dan maaf juga jika pada akhirnya aku tak bisa lagi menunggu hatimu. Sekeras apapun aku berusaha, sepertinya keberuntungan sedang tidak memihak padaku. Sekuat apapun aku mempertahankan dan menjaga hatiku hanya untuk kamu. Namun jika Tuhan tak menginginkan aku memilikimu, aku bisa apa? Jangan salahkan dirimu, karena aku tak bisa menyalahkanmu Nuy… Aku yg bersalah, karena dimataku kamu hanya berusaha jujur tentang apa yg kamu rasakan.
            Lalu pesan kedua pun masuk menyusul.
From : Rian

Tapi meskipun begitu, aku tetap akan mendoakan yg terbaik untukmu dan masa depanmu nanti. Aku berharap kamu nggak syok berat atas hal ini. Aku percaya, kamu wanita yg kuat. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti menyukaimu. Maaf jika salam perpisahan ini terkesan seperti pengecut. Aku bahkan tak akan menolak jika kamu menyebutku pecundang. Aku berharap suatu hari kamu akan menemukan sosok yang bisa membuatmu menghilangkan keraguanmu. Sekali lagi aku minta maaf, doaku untukmu, kelak semoga kamu selalu berbahagia, meskipun itu bukan denganku. Dan jika kelak kita bertemu kembali aku masih berharap kamu bisa mengatakan bahwa aku adalah lelaki yg pernah kamu sayangi.

            Tanpa disadari, air mataku menetes perlahan membasahi pipi. Inikah yang namanya perpisahan, seperti inikah rasanya penyesalan, dan seperti inikah rasanya kehilangan. Kehilangan seseorang yang bahkan tadinya sudah didepan mata. Aku kecewa, aku menyebut ini kebodohan, hanya karena sedikit keraguan akhirnya aku kehilangan. Untuk sesaat aku sempat tertawa, mungkin lebih terlihat menyeringai karena marah, ketika teringat kaat-kata terakhir di SMS Rian barusan. Namun kemudian aku kembali merasa begitu sedih, perasaanku begitu kerdil ketika menyadari jika aku benar-benar telah kehilangan sosok yang akhir-akhir ini secara diam-diam aku inginkan.

^_^ * * * ^_^
To be continue... 

Di Batas Asa "Part 3"                                                            Di Batas Asa "Part 5"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar