Rabu, 12 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 1"



Waktu sudah menunjukkan pukul 10.15 pagi, sudah hampir memasuki tengah hari. Aku sudah bersiap meninggalkan kost menuju terminal angkutan umum menuju desa kecilku. Sebulan sekali aku pulang ke Desa dimana aku dilahirkan. Aku memilih hidup di Kota Samarinda ini bukanlah tanpa alasan, berusaha membiayai hidupku sendiri tanpa membebani orang tuaku lebih banyak lagi. Sudah kurang lebih 8 tahun aku menjalani kehidupan seperti ini. Bekerja dari satu tempat ketempat yang lain hingga akhirnya kuputuskan menetap pada satu pekerjaan ini, aku dipercaya mengelola sebuah minimarket sederhana oleh seorang pengusaha muda disini sambil kembali melanjutkan studiku disebuah perguruan tinggi negeri ternama di Kota ini.
            Kini aku sudah berada ditepi jalan menunggu angkutan kota yang akan membawaku keterminal yang ingin kutuju. Cukup lama juga waktu yang kubutuhkan menunggu angkutan itu, hal ini disebabkan makin berkurangnya jumlah angkutan umum seiring semakin banyaknya jumlah kendaraan pribadi yang lalu lalang disetiap ruas jalan dikota ini. Dimataku, keberadaan angkutan umum di Kota ini nyaris tersisih.
            47 menit kemudian akhirnya aku tiba diterminal angkutan umum yang akan membawaku pulang ke Desaku. Butuh waktu 2 jam perjalanan untuk sampai ke Desa setelah melewati jalan yang tak seluruhnya tertutup aspal. Bahkan setelah melewati perbatasan Kecamatan Anggana, jalan yang dilalui bisa dibilang sangat kurang layak dilewati kendaraan roda 4. Dikarenakan lebar jalan yang tak memenuhi standar, beberapa bagian jalan ada yang hanya ditaburi bongkahan batu kecil, kerikil dan pasir. Bahkan diantaranya tak jarang hanya tanah liat berwarna kuning, melalui perbukitan dan tanjakan di Desa Kutai Lama yang licin ketika hujan mengguyur permukaan jalan. Tak jarang pula justru jalan tersebut menjadi sangat berlumpur dan tak dapat dilaui kendaraan.
            Namun ada hal yang tetap aku syukuri, meskipun infrastruktur dan akses dari Desa ku kekota terbilang sulit, kehidupan masyarakat di Desaku tetap stabil. Stabil perekonomiannya juga stabil keharmonisan hubungan antar warganya. Kendaraan yang membawaku menuju Desaku kini berjalan mendaki bukit, cuaca amat terik, kugeser sedikit kaca jendela mobil untuk sekedar menghirup udara segar khas pedesaan. Seketika pula terpampang sebuah pemandangan yang indah nan eksotis didepan mataku. Dimana perbukitan hijau yang dihiasi hamparan ilalang bergoyang-goyang diterpa hembusan angin. Pemandangan indah yang tak bisa kulihat dikota dan hanya bisa kunikmati sebulan sekali. Aku dan teman-temanku dulu sering menyebutnya Bukit Teletubies Made in Kutai Lama, mengingat bentuknya yang mirip dengan bentuk bukit pada sebuah serial televisi anak-anak jaman dulu.
Kurang lebih 40 menit kemudian akhirnya aku turun dari kendaraan yang membawaku hingga ke Desa ini. Kulirik arloji dipergelangan tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 14.10 siang, mengingat kendaraan yang kutumpangi tadi berangkat pukul 12 lebih 15 menit. Aku turun dari kendaraan tepat didepan sebuah Madrasah Tsanawiyah. Sekolah dimana aku memulai masa remajaku dulu.
Sejenak aku teringat betapa dulu aku dan sahabat-sahabatku suka sekali menghabiskan waktu bersama dengan bermalas-malasan diperpustakaan kecil sekedar membuka-buka buku ensiklopedia yang dulu rasanya amat menarik. Atau terkadang berebut meminjam buku-buku bacaan lalu membawa pulang kerumah sesuka hati tanpa melaporkan pada pengelola perpustakaan. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri mengingat kejadian-kejadian yang menurutku lucu saat itu.
Setelah itu aku pun melanjutkan langkahku menuju rumah, yap aku harus berjalan kaki sekitar 7 menit untuk sampai dirumahku yang letaknya dekat sekali dengan sungai. Lazimnya masyarakat pedesaan yang terbiasa hidup mendekati sungai, begitu pula yang terjadi didesaku. Rumah orang tuaku letaknya amat dekat dengan anak sungai Mahakam.
Sekitar 10 langkah aku beranjak dari depan Madrasahku, aku seperti mendengar sebuah langkah dibelakangku, suasana jalanan Desa yang sepi membuatku berusaha tak peduli, pikirku mungkin warga sekitar sini saja yang juga sedang menuju kerumahnya atau suatu tempat.
Kuhentikan langkah sesaat, tapi suara langkah itu menghilang. Aku tak mau berprasangka, sehingga aku tak mencoba menoleh kebelakang. Aku melangkah lagi dijalanan yang sepenuhnya dibangun dari susunan papan dan tonggak kayu. Suara langkah dibelakangku pun terdengar lagi. Kegugupanku membuat aku makin meremas erat tali ranselku. Sampai akhirnya aku mendengar suara seorang lelaki memanggilku.
“Nuy…?” Aku terkesiap, orang ini memanggilku dengan nama itu, tanpa berpikir panjang aku langsung membalikkan badanku. Dan lagi aku benar-benar terkejut dibuatnya.
“Hai” Hanya kata itu yang berhasil keluar dari bibirku setelah aku melihat langsung siapa sosok yang sejak tadi berjalan dibelakangku.
“Wah benar kamu rupanya, apa kabar?” lelaki itu tersenyum padaku sambil mendekat. Lelaki itu bernama Rian, dan ketika MTs dulu kami pernah saling menyukai lalu berlanjut pada hubungan yang lebih dekat, bahasa kerennya Pacaran.
“Alhamdulillah baik” Jawabku berusaha memulihkan rasa terkejutku. Spontan aku membalas senyum lelaki bertubuh atletis dan berkulit bersih ini.
“Baru pulang?” Tanyanya lagi memecah kesunyian diantara kami.
“Ah iya, tadi naik angkutan umum, kayak biasa. Kabarmu gimana?” Tanyaku padanya. 5 tahun yang lalu adalah pertemuan terakhir kami secara langsung. Setelah itu, setiap kali aku pulang ke Desa, jarang sekali aku melihatnya, bahkan saat SMU jika melihat pun hanya sebatas melihatnya melintas dijalan saja. Tak lagi pernah bertukar sapa.
“Alhamdulillah aku masih sehat seperti sekarang” Jawabnya sambil tersenyum lagi. Ah senyum itu, tetap semanis dulu. “Sudah berapa tahun ya kita nggak pernah bicara begini lagi hahaha…” Lanjutnya dengan nada canggung.
“Hmmmm… berapa tahun ya, lupa juga nggak ngitung sih” Jawabku berbohong, padahal aku tahu persis sudah 5 tahun. Bukan aku merasa gengsi atau jaim, hanya saja aku berusaha menyembunyikan ekspresi wajahku yang hampir salah tingkah.
“Ah kamu sih selalu begitu, aku tau kok kamu setiap sebulan sekali balik kesini kan? Tapi kamu pelit, dirumah mulu nggak pernah keluar-keluar. Tau-tau besoknya udah balik aja lagi ke Samarinda”. Celotehnya panjang lebar sambil berjalan perlahan-lahan. Aku pun terbawa suasana dan ikut-ikutan jalan perlahan.
“Hehehe… Oh itu, iya sih aku jarang keluar. Soalnya kadang udah capek, jadi males keluar-keluar” Jawabku berusaha membuat suasana menjadi nyaman.
“Eh itu rumahmu sudah dekat, aku balik dulu deh ya” Ujarnya mengakhiri pembicaraan, sembari menghentikan langkah.
“Oh iya, hati-hati dijalan kalau gitu” Jawabku sambil tersenyum lalu melanjutkan langkahku menuju rumah.
“Eh iya Nuy… Btw nanti malam, ba’da Isya aku boleh main kerumahmu?” Tanyanya, membuat langkahku terhenti sekali lagi.
Deggh..!!! Aku merasa ada debaran kencang tak wajar didadaku, bahkan aku merasa dia pun mungkin mendengar debaran ini. Sebelum debaran ini sulit kukendalikan, akupun berpaling sekilas lalu mengangguk padanya. Selanjutnya aku mempercepat langkah tanpa menoleh lagi padanya. Tiba-tiba aku merasa takut. Takut jika dalam kondisi seperti ini, senyumnya akan menangkap hatiku lagi, seperti dulu.
                                                                        ^_^ * * * ^_^

To Be Continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar