Waktu sudah menunjukkan pukul
10.15 pagi, sudah hampir memasuki tengah hari. Aku sudah bersiap meninggalkan
kost menuju terminal angkutan umum menuju desa kecilku. Sebulan sekali aku
pulang ke Desa dimana aku dilahirkan. Aku memilih hidup di Kota Samarinda ini bukanlah
tanpa alasan, berusaha membiayai hidupku sendiri tanpa membebani orang tuaku
lebih banyak lagi. Sudah kurang lebih 8 tahun aku menjalani kehidupan seperti
ini. Bekerja dari satu tempat ketempat yang lain hingga akhirnya kuputuskan
menetap pada satu pekerjaan ini, aku dipercaya mengelola sebuah minimarket
sederhana oleh seorang pengusaha muda disini sambil kembali melanjutkan studiku
disebuah perguruan tinggi negeri ternama di Kota ini.
Kini aku sudah berada ditepi jalan
menunggu angkutan kota yang akan membawaku keterminal yang ingin kutuju. Cukup
lama juga waktu yang kubutuhkan menunggu angkutan itu, hal ini disebabkan makin
berkurangnya jumlah angkutan umum seiring semakin banyaknya jumlah kendaraan
pribadi yang lalu lalang disetiap ruas jalan dikota ini. Dimataku, keberadaan
angkutan umum di Kota ini nyaris tersisih.
47 menit kemudian akhirnya aku tiba
diterminal angkutan umum yang akan membawaku pulang ke Desaku. Butuh waktu 2
jam perjalanan untuk sampai ke Desa setelah melewati jalan yang tak seluruhnya
tertutup aspal. Bahkan setelah melewati perbatasan Kecamatan Anggana, jalan yang
dilalui bisa dibilang sangat kurang layak dilewati kendaraan roda 4.
Dikarenakan lebar jalan yang tak memenuhi standar, beberapa bagian jalan ada
yang hanya ditaburi bongkahan batu kecil, kerikil dan pasir. Bahkan diantaranya
tak jarang hanya tanah liat berwarna kuning, melalui perbukitan dan tanjakan di Desa Kutai Lama
yang licin ketika hujan mengguyur permukaan jalan. Tak jarang pula justru jalan
tersebut menjadi sangat berlumpur dan tak dapat dilaui kendaraan.
Namun ada hal yang tetap aku
syukuri, meskipun infrastruktur dan akses dari Desa ku kekota terbilang sulit,
kehidupan masyarakat di Desaku tetap stabil. Stabil perekonomiannya juga stabil
keharmonisan hubungan antar warganya. Kendaraan yang membawaku menuju Desaku
kini berjalan mendaki bukit, cuaca amat terik, kugeser sedikit kaca jendela
mobil untuk sekedar menghirup udara segar khas pedesaan. Seketika pula
terpampang sebuah pemandangan yang indah nan eksotis didepan mataku. Dimana perbukitan
hijau yang dihiasi hamparan ilalang bergoyang-goyang diterpa hembusan angin.
Pemandangan indah yang tak bisa kulihat dikota dan hanya bisa kunikmati sebulan
sekali. Aku dan teman-temanku dulu sering menyebutnya Bukit Teletubies Made in Kutai Lama, mengingat bentuknya yang mirip dengan bentuk bukit pada sebuah serial televisi anak-anak jaman dulu.
Kurang lebih 40 menit kemudian akhirnya
aku turun dari kendaraan yang membawaku hingga ke Desa ini. Kulirik arloji
dipergelangan tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 14.10 siang, mengingat
kendaraan yang kutumpangi tadi berangkat pukul 12 lebih 15 menit. Aku turun
dari kendaraan tepat didepan sebuah Madrasah Tsanawiyah. Sekolah dimana
aku memulai masa remajaku dulu.
Sejenak aku teringat betapa
dulu aku dan sahabat-sahabatku suka sekali menghabiskan waktu bersama dengan
bermalas-malasan diperpustakaan kecil sekedar membuka-buka buku ensiklopedia
yang dulu rasanya amat menarik. Atau terkadang berebut meminjam buku-buku
bacaan lalu membawa pulang kerumah sesuka hati tanpa melaporkan pada pengelola
perpustakaan. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri mengingat kejadian-kejadian
yang menurutku lucu saat itu.
Setelah itu aku pun
melanjutkan langkahku menuju rumah, yap aku harus berjalan kaki sekitar 7 menit
untuk sampai dirumahku yang letaknya dekat sekali dengan sungai. Lazimnya
masyarakat pedesaan yang terbiasa hidup mendekati sungai, begitu pula yang
terjadi didesaku. Rumah orang tuaku letaknya amat dekat dengan anak sungai
Mahakam.
Sekitar 10 langkah aku
beranjak dari depan Madrasahku, aku seperti mendengar sebuah langkah
dibelakangku, suasana jalanan Desa yang sepi membuatku berusaha tak peduli,
pikirku mungkin warga sekitar sini saja yang juga sedang menuju kerumahnya atau
suatu tempat.
Kuhentikan langkah sesaat,
tapi suara langkah itu menghilang. Aku tak mau berprasangka, sehingga aku tak
mencoba menoleh kebelakang. Aku melangkah lagi dijalanan yang sepenuhnya
dibangun dari susunan papan dan tonggak kayu. Suara langkah dibelakangku pun
terdengar lagi. Kegugupanku membuat aku makin meremas erat tali ranselku.
Sampai akhirnya aku mendengar suara seorang lelaki memanggilku.
“Nuy…?” Aku terkesiap, orang
ini memanggilku dengan nama itu, tanpa berpikir panjang aku langsung membalikkan
badanku. Dan lagi aku benar-benar terkejut dibuatnya.
“Hai” Hanya kata itu yang
berhasil keluar dari bibirku setelah aku melihat langsung siapa sosok yang
sejak tadi berjalan dibelakangku.
“Wah benar kamu rupanya, apa
kabar?” lelaki itu tersenyum padaku sambil mendekat. Lelaki itu bernama Rian,
dan ketika MTs dulu kami pernah saling menyukai lalu berlanjut pada hubungan
yang lebih dekat, bahasa kerennya Pacaran.
“Alhamdulillah baik” Jawabku
berusaha memulihkan rasa terkejutku. Spontan aku membalas senyum lelaki
bertubuh atletis dan berkulit bersih ini.
“Baru pulang?” Tanyanya lagi
memecah kesunyian diantara kami.
“Ah iya, tadi naik angkutan
umum, kayak biasa. Kabarmu gimana?” Tanyaku padanya. 5 tahun yang lalu adalah
pertemuan terakhir kami secara langsung. Setelah itu, setiap kali aku pulang ke
Desa, jarang sekali aku melihatnya, bahkan saat SMU jika melihat pun hanya sebatas
melihatnya melintas dijalan saja. Tak lagi pernah bertukar sapa.
“Alhamdulillah aku masih
sehat seperti sekarang” Jawabnya sambil tersenyum lagi. Ah senyum itu, tetap
semanis dulu. “Sudah berapa tahun ya kita nggak pernah bicara begini lagi
hahaha…” Lanjutnya dengan nada canggung.
“Hmmmm… berapa tahun ya, lupa
juga nggak ngitung sih” Jawabku berbohong, padahal aku tahu persis sudah 5
tahun. Bukan aku merasa gengsi atau jaim, hanya saja aku berusaha
menyembunyikan ekspresi wajahku yang hampir salah tingkah.
“Ah kamu sih selalu begitu,
aku tau kok kamu setiap sebulan sekali balik kesini kan? Tapi kamu pelit,
dirumah mulu nggak pernah keluar-keluar. Tau-tau besoknya udah balik aja lagi
ke Samarinda”. Celotehnya panjang lebar sambil berjalan perlahan-lahan. Aku pun
terbawa suasana dan ikut-ikutan jalan perlahan.
“Hehehe… Oh itu, iya sih aku
jarang keluar. Soalnya kadang udah capek, jadi males keluar-keluar” Jawabku
berusaha membuat suasana menjadi nyaman.
“Eh itu rumahmu sudah dekat,
aku balik dulu deh ya” Ujarnya mengakhiri pembicaraan, sembari menghentikan
langkah.
“Oh iya, hati-hati dijalan
kalau gitu” Jawabku sambil tersenyum lalu melanjutkan langkahku menuju rumah.
“Eh iya Nuy… Btw nanti malam,
ba’da Isya aku boleh main kerumahmu?” Tanyanya, membuat langkahku terhenti
sekali lagi.
Deggh..!!! Aku merasa ada
debaran kencang tak wajar didadaku, bahkan aku merasa dia pun mungkin mendengar
debaran ini. Sebelum debaran ini sulit kukendalikan, akupun berpaling sekilas
lalu mengangguk padanya. Selanjutnya aku mempercepat langkah tanpa menoleh lagi
padanya. Tiba-tiba aku merasa takut. Takut jika dalam kondisi seperti ini,
senyumnya akan menangkap hatiku lagi, seperti dulu.
^_^ * * * ^_^


Tidak ada komentar:
Posting Komentar