Tiga
minggu sudah berlalu sejak kunjungan Rian kerumahku di Desa. Malam itu akhirnya
Rian pulang tanpa mendapat kepastian apapun dariku. Bagiku pernyataan Rian
terlalu tiba-tiba. Aku butuh waktu untuk berpikir. Tidak, sebenarnya aku bukan
butuh waktu untuk berpikir. Aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan kembali
perasaanku. Aku hanya butuh waktu untuk mencari jawaban apa sebenarnya yang
membuat debaran itu kembali muncul ketika aku bersama Rian. Apakah aku benar
masih memiliki rasa yang sama seperti dulu. Ataukah itu hanya sebatas
spontanitasku saja yang tiba-tiba bertemu dengannya.
Malam itu kukatakan pada Rian jika
aku butuh waktu. Butuh waktu untuk untuk membuat keputusan yang tepat, agar tak
lagi ada penyesalan. Akhirnya kami sepakat bertukar nomor kontak. Aku bisa
memberikan jawabanku kapan saja ketika aku sudah mantap. Begitu yang Rian
katakan padaku malam itu sebelum Ia pamit pulang.
Ponselku bergetar keras disaku
jaketku. Pikiranku yang tadinya begitu sibuk seketika buyar. Kuraih ponselku,
ada sebuah pesan singkat yang baru masuk. Pesan yang ternyata dari Rian.
From : Rian
Masih
dikampus? Kira-kira pulang jam berapa?
Dengan
santai kubalas pesan dari Rian, sejak pertemuan kami 3 minggu yang lalu,
sekarang memang komunikasi kami makin
intens.
To : Rian
Kayaknya
sekitar jam limaan, kenapa? Tumben nanyain aku pulang kuliah jam berapa.
Tak sampai 2 menit balasan pesan
dari Rian pun kembali masuk. Sambil berjalan menuju kelas aku membaca pesan
singkat Rian.
From
: Rian
Habis kuliah, kerja lagi?
To
: Rian
Engga,
hari ini jatahku libur.
From
: Rian
Kalau
gitu aku jemput dikampus ya? Aku lagi dikota nih, baru kelar urusan. Gimana?
Bisa?
To
: Rian
Oh
gitu, boleh aja. Kampusku di Jl. Meranti No. 18 nanti jam 5 kalau udah didepan
gerbang sms lagi aja. Btw dosenku udah masuk nih, See you ya.
From
: Rian
Oke,
belajar yg fokus ya. Jangan mikirin aku terus hehehe… I’m Really Miss U, wait
me… I’ll hugged you today ˆ–ˆ
Aku hanya tersenyum tipis membaca
sms terakhir Rian. Setelah itu buru-buru ponsel kuselipkan lagi disaku jaket.
Lalu mengikuti kuliah seperti biasa. Tanpa terasa sesi kuliah dikelas terakhir
hari ini pun berakhir. Kulirik jam dipergelangan tanganku. Pukul 5 kurang 20
menit, masih lumayan banyak waktu sebelum tepat jam 5. Kubereskan buku dan alat
tulisku lalu beranjak meninggalkan kelas.
“Eh boncel langsung pulang? Mau
bareng?” Uni teman sekelasku menghampiriku.
“Issshh… lengket banget kayaknya
manggil aku boncel, mentang-mentang aku pendek” Jawabku pura-pura ngambek.
“Hahaha… dih pura-pura marah, eh
panggilan boncel itu kedengeran imut tau” Ujar Uni berkilah.
“Kamu pulang duluan aja, aku sudah
ada janji sama orang” Jawabku sembali menggendong backpack-ku.
“Oww… ya udeh kalau begitu, aku
duluan yaaa, dah..” Uni pun langsung melangkah menuju parkiran, sedangkan aku
menuju kantin, berniat membeli minuman, karena sejak dikelas tadi aku merasa
haus sekali.
Setelah membeli sebotol minuman
dingin aku berjalan pelan menuju gerbang. Ponsel di sakuku pun kembali
bergetar. Setelah membuka SMS aku pun tahu, rupanya Rian sudah menunggu
digerbang depan. Kali ini aku berjalan agak sedikit lebih cepat dari tadi.
Sesampainya digerbang kampus, aku
mendapati Rian tengah duduk manis diatas motor Matic-nya sambil memangku helm
di pahanya. Aku pun melambaikan tangan kearah Rian yang ternyata sudah
melihatku dari kejauhan. Ia hanya merespon dengan senyuman.
“Yuk jalan?!” Tanpa basa basi Rian
langsung memberiku sebuah helm yang rupanya sudah Ia siapkan. Sepertinya Rian
ingin mengajakku kesuatu tempat kali ini.
“Mau kemana kita?” Tanyaku seraya
menyambut helm yang disodorkan Rian padaku lalu mengenakannya
“Udah ikut aja, dulu kan waktu SMP
kita nggak pernah jalan-jalan begini” Jawab Rian seraya menyalakan mesin
motornya. Akupun langsung naik dan duduk dijok belakang. Saat itu jalanan
disekitar kampus makin ramai, karena memang jam segini jamnya padat kendaraan
berlalu lalang.
Diluar dugaanku, ternyata Rian tidak
membawaku mengunjungi suatu tempat. Dia hanya membawaku berkeliling kota sore
ini. Hingga akhirnya Rian menghentikan mesin motornya. Kini kami berada agak
jauh dari keramaian kota. Tepatnya kini kami berada ditepi jalan diatas sebuah
bukit. Yang mana kini dihadapan kami ratusan cahaya lampu tampak berkelap kelip
dikejauhan. Cahaya matahari diufuk barat makin meredup menandakan malam akan
segera tiba.
Indah… pemandangan lampu-lampu
dirumah penduduk dibawah sana mirip dengan cahaya kunang-kunang dimalam hari.
Aku begitu menikmati suasana senja ini. Meskipun beberapa kendaraan masih
melintas dijalan raya, tak mengurangi indahnya suasana ditempat ini.
“Nuy… apa kabar hati kamu sekarang?”
pertanyaan Rian barusan sebenarnya hanya basa basi saja. Aku tahu dengan jelas,
jika sebenarnya dia sedang menagih jawaban dan kepastian dariku atas hubungan
kami.
“Aku masih belum yakin Rian, dan
bahkan mungkin juga aku nggak akan pernah yakin tentang perasaanku sama kamu”
Tiba-tiba saja lidahku dengan lancarnya memberikan jawaban pada Rian.
Rian menghela napas berat, entah
kenapa aku seakan merasa Rian saat ini tengah memiliki masalah yang sangat
serius. Aku menangkap rasa gelisah diwajahnya. Terlihat seperti ada yang ingin
sekali diungkapkannya. Aku menunggu. Kali ini Rian menatapku penuh arti,
tatapannya seolah Ia sedang bicara, tapi aku tak bisa mendengarnya. Kemudian
Rian tersenyum lembut ia meraih tanganku lalu dengan gerakan mantap ia memeluk
tubuh mungilku.
Hening… aku cuma bisa terdiam,
membisu dalam pelukan Rian. Aku seakan dapat merasakan debaran jantung Rian.
Debaran itu awalnya kencang, lalu perlahan-lahan mereda hingga tersisa
debaran-debaran lembut saja. Beberapa saat aku masih menunggu, menunggu sesuatu
yang mungkin ingin dikatakan Rian. Tapi ia bagai mematung memelukku dalam diam.
Akhirnya kuberanikan diri mengangkat lengan kiriku, kusentuh bahunya agar ia
tersadar.
“Rian… kamu kenapa?” Tanyaku
seraya mengusap lembut pundaknya. Seketika Rian seperti mulai sadar kembali.
Lalu perlahan melepaskan pelukannya dariku. Sekali lagi dia menatapku penuh
arti lalu tersenyum manis sekali.
“Aku masih ingin menunggu hatimu
Nuy” Rian meraih kedua lenganku lalu menggenggap jemariku erat. “Aku ingin
menunggu hatimu sebisaku, kamu boleh pegang kata-kataku. Karena aku percaya,
suatu hari nanti kamu akan bisa meyakinkan perasaan kamu sama aku”.
“Maaf Rian, maaf karena aku
menempatkanmu pada sebuah ketidakpastian” Jawabku penuh rasa sesal.
“Iya aku maafin, aku mengerti kok
apa yang kamu rasakan. Aku setuju aja kalau kamu nggak yakin, jangan buru-buru
bikin keputusan” Ujar Rian mencoba menenangkan rasa bersalahku. “Yuk aku antar
kamu pulang, udah makin gelap aja nih” Sambungnya seraya menarik tanganku
menuju motornya.
Malam itu kami sama-sama membisu
dalam perjalanan pulang ke kostku. Tadi Rian sempat mengatakan kalau aku tak
perlu mengkhawatirkan dimana dia akan menginap malam ini. Karena dia akan menginap
dirumah saudaranya. Besok pagi-pagi sekali baru dia pulang ke Desa, mungkin
akan langsung mengajar disekolah seperti biasa. Ya kini Rian adalah seorang
pengajar honorer di SMP kami dulu.
Setelah mengantarku sampai dihalaman
kostku. Rian langsung pamit menuju rumah saudaranya. Sekali ini aku dapat melihat
ekspresi bahagia diwajahnya. Setelah mengusap lembut kepalaku, dia langsung
melaju dengan motor Matic-nya.
Sepekan sudah berlalu sejak
pembicaraan kami dipuncak bukit waktu itu. Selama sepekan ini pula aku tak
mengetahui kabar Rian. Satu SMS pun tak ada ia kirimkan. Bahkan ketika aku
mencoba menelepon Rian, sambungannya selalu saja sibuk. Aku berpikir mungkinkah
Rian membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan hatinya? aku kembali
gelisah. Apa mungkin sedang terjadi sesuatu dengannya? Berbagai pertanyaan
berkecamuk dalam pikiranku. Hingga akhirnya kuputuskan minggu ini untuk pulang
ke Desa lagi seperti biasa. Aku Berharap dapat melihatnya. Setidaknya aku tahu
bahwa Ia masih baik-baik saja.
^_^ * * * ^_^
To be continue...


Tidak ada komentar:
Posting Komentar