Selasa, 25 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 3"



             Tiga minggu sudah berlalu sejak kunjungan Rian kerumahku di Desa. Malam itu akhirnya Rian pulang tanpa mendapat kepastian apapun dariku. Bagiku pernyataan Rian terlalu tiba-tiba. Aku butuh waktu untuk berpikir. Tidak, sebenarnya aku bukan butuh waktu untuk berpikir. Aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan kembali perasaanku. Aku hanya butuh waktu untuk mencari jawaban apa sebenarnya yang membuat debaran itu kembali muncul ketika aku bersama Rian. Apakah aku benar masih memiliki rasa yang sama seperti dulu. Ataukah itu hanya sebatas spontanitasku saja yang tiba-tiba bertemu dengannya.
            Malam itu kukatakan pada Rian jika aku butuh waktu. Butuh waktu untuk untuk membuat keputusan yang tepat, agar tak lagi ada penyesalan. Akhirnya kami sepakat bertukar nomor kontak. Aku bisa memberikan jawabanku kapan saja ketika aku sudah mantap. Begitu yang Rian katakan padaku malam itu sebelum Ia pamit pulang.
            Ponselku bergetar keras disaku jaketku. Pikiranku yang tadinya begitu sibuk seketika buyar. Kuraih ponselku, ada sebuah pesan singkat yang baru masuk. Pesan yang ternyata dari Rian.
From : Rian

Masih dikampus? Kira-kira pulang jam berapa?
Dengan santai kubalas pesan dari Rian, sejak pertemuan kami 3 minggu yang lalu, sekarang  memang komunikasi kami makin intens.
To : Rian

Kayaknya sekitar jam limaan, kenapa? Tumben nanyain aku pulang kuliah jam berapa.

            Tak sampai 2 menit balasan pesan dari Rian pun kembali masuk. Sambil berjalan menuju kelas aku membaca pesan singkat Rian.
From : Rian

Habis kuliah, kerja lagi?


To : Rian

Engga, hari ini jatahku libur.


From : Rian

Kalau gitu aku jemput dikampus ya? Aku lagi dikota nih, baru kelar urusan. Gimana? Bisa?


To : Rian

Oh gitu, boleh aja. Kampusku di Jl. Meranti No. 18 nanti jam 5 kalau udah didepan gerbang sms lagi aja. Btw dosenku udah masuk nih, See you ya.


From : Rian

Oke, belajar yg fokus ya. Jangan mikirin aku terus hehehe… I’m Really Miss U, wait me… I’ll hugged you today ˆ–ˆ

            Aku hanya tersenyum tipis membaca sms terakhir Rian. Setelah itu buru-buru ponsel kuselipkan lagi disaku jaket. Lalu mengikuti kuliah seperti biasa. Tanpa terasa sesi kuliah dikelas terakhir hari ini pun berakhir. Kulirik jam dipergelangan tanganku. Pukul 5 kurang 20 menit, masih lumayan banyak waktu sebelum tepat jam 5. Kubereskan buku dan alat tulisku lalu beranjak meninggalkan kelas.
            “Eh boncel langsung pulang? Mau bareng?” Uni teman sekelasku menghampiriku.
            “Issshh… lengket banget kayaknya manggil aku boncel, mentang-mentang aku pendek” Jawabku pura-pura ngambek.
            “Hahaha… dih pura-pura marah, eh panggilan boncel itu kedengeran imut tau” Ujar Uni berkilah.
            “Kamu pulang duluan aja, aku sudah ada janji sama orang” Jawabku sembali menggendong backpack-ku.
            “Oww… ya udeh kalau begitu, aku duluan yaaa, dah..” Uni pun langsung melangkah menuju parkiran, sedangkan aku menuju kantin, berniat membeli minuman, karena sejak dikelas tadi aku merasa haus sekali.
            Setelah membeli sebotol minuman dingin aku berjalan pelan menuju gerbang. Ponsel di sakuku pun kembali bergetar. Setelah membuka SMS aku pun tahu, rupanya Rian sudah menunggu digerbang depan. Kali ini aku berjalan agak sedikit lebih cepat dari tadi.
            Sesampainya digerbang kampus, aku mendapati Rian tengah duduk manis diatas motor Matic-nya sambil memangku helm di pahanya. Aku pun melambaikan tangan kearah Rian yang ternyata sudah melihatku dari kejauhan. Ia hanya merespon dengan senyuman.
            “Yuk jalan?!” Tanpa basa basi Rian langsung memberiku sebuah helm yang rupanya sudah Ia siapkan. Sepertinya Rian ingin mengajakku kesuatu tempat kali ini.
            “Mau kemana kita?” Tanyaku seraya menyambut helm yang disodorkan Rian padaku lalu mengenakannya
            “Udah ikut aja, dulu kan waktu SMP kita nggak pernah jalan-jalan begini” Jawab Rian seraya menyalakan mesin motornya. Akupun langsung naik dan duduk dijok belakang. Saat itu jalanan disekitar kampus makin ramai, karena memang jam segini jamnya padat kendaraan berlalu lalang.
            Diluar dugaanku, ternyata Rian tidak membawaku mengunjungi suatu tempat. Dia hanya membawaku berkeliling kota sore ini. Hingga akhirnya Rian menghentikan mesin motornya. Kini kami berada agak jauh dari keramaian kota. Tepatnya kini kami berada ditepi jalan diatas sebuah bukit. Yang mana kini dihadapan kami ratusan cahaya lampu tampak berkelap kelip dikejauhan. Cahaya matahari diufuk barat makin meredup menandakan malam akan segera tiba.
            Indah… pemandangan lampu-lampu dirumah penduduk dibawah sana mirip dengan cahaya kunang-kunang dimalam hari. Aku begitu menikmati suasana senja ini. Meskipun beberapa kendaraan masih melintas dijalan raya, tak mengurangi indahnya suasana ditempat ini.
            “Nuy… apa kabar hati kamu sekarang?” pertanyaan Rian barusan sebenarnya hanya basa basi saja. Aku tahu dengan jelas, jika sebenarnya dia sedang menagih jawaban dan kepastian dariku atas hubungan kami.
            “Aku masih belum yakin Rian, dan bahkan mungkin juga aku nggak akan pernah yakin tentang perasaanku sama kamu” Tiba-tiba saja lidahku dengan lancarnya memberikan jawaban pada Rian.
            Rian menghela napas berat, entah kenapa aku seakan merasa Rian saat ini tengah memiliki masalah yang sangat serius. Aku menangkap rasa gelisah diwajahnya. Terlihat seperti ada yang ingin sekali diungkapkannya. Aku menunggu. Kali ini Rian menatapku penuh arti, tatapannya seolah Ia sedang bicara, tapi aku tak bisa mendengarnya. Kemudian Rian tersenyum lembut ia meraih tanganku lalu dengan gerakan mantap ia memeluk tubuh mungilku.
            Hening… aku cuma bisa terdiam, membisu dalam pelukan Rian. Aku seakan dapat merasakan debaran jantung Rian. Debaran itu awalnya kencang, lalu perlahan-lahan mereda hingga tersisa debaran-debaran lembut saja. Beberapa saat aku masih menunggu, menunggu sesuatu yang mungkin ingin dikatakan Rian. Tapi ia bagai mematung memelukku dalam diam. Akhirnya kuberanikan diri mengangkat lengan kiriku, kusentuh bahunya agar ia tersadar.
“Rian… kamu kenapa?” Tanyaku seraya mengusap lembut pundaknya. Seketika Rian seperti mulai sadar kembali. Lalu perlahan melepaskan pelukannya dariku. Sekali lagi dia menatapku penuh arti lalu tersenyum manis sekali.
            “Aku masih ingin menunggu hatimu Nuy” Rian meraih kedua lenganku lalu menggenggap jemariku erat. “Aku ingin menunggu hatimu sebisaku, kamu boleh pegang kata-kataku. Karena aku percaya, suatu hari nanti kamu akan bisa meyakinkan perasaan kamu sama aku”. 
            “Maaf Rian, maaf karena aku menempatkanmu pada sebuah ketidakpastian” Jawabku penuh rasa sesal.
            “Iya aku maafin, aku mengerti kok apa yang kamu rasakan. Aku setuju aja kalau kamu nggak yakin, jangan buru-buru bikin keputusan” Ujar Rian mencoba menenangkan rasa bersalahku. “Yuk aku antar kamu pulang, udah makin gelap aja nih” Sambungnya seraya menarik tanganku menuju motornya.
            Malam itu kami sama-sama membisu dalam perjalanan pulang ke kostku. Tadi Rian sempat mengatakan kalau aku tak perlu mengkhawatirkan dimana dia akan menginap malam ini. Karena dia akan menginap dirumah saudaranya. Besok pagi-pagi sekali baru dia pulang ke Desa, mungkin akan langsung mengajar disekolah seperti biasa. Ya kini Rian adalah seorang pengajar honorer di SMP kami dulu.
            Setelah mengantarku sampai dihalaman kostku. Rian langsung pamit menuju rumah saudaranya. Sekali ini aku dapat melihat ekspresi bahagia diwajahnya. Setelah mengusap lembut kepalaku, dia langsung melaju dengan motor Matic-nya.
            Sepekan sudah berlalu sejak pembicaraan kami dipuncak bukit waktu itu. Selama sepekan ini pula aku tak mengetahui kabar Rian. Satu SMS pun tak ada ia kirimkan. Bahkan ketika aku mencoba menelepon Rian, sambungannya selalu saja sibuk. Aku berpikir mungkinkah Rian membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan hatinya? aku kembali gelisah. Apa mungkin sedang terjadi sesuatu dengannya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Hingga akhirnya kuputuskan minggu ini untuk pulang ke Desa lagi seperti biasa. Aku Berharap dapat melihatnya. Setidaknya aku tahu bahwa Ia masih baik-baik saja.

^_^ * * * ^_^
To be continue... 

Di Batas Asa "Part 2"                                                                         Di Batas Asa "Part 4"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar