Sabtu, 28 November 2015

Dibatas Asa "Part 5"



2 tahun kemudian
            
            Sore ini kutatap slide power point dilayar laptopku, slide yang kubuat kali ini terasa sangat spesial. Karena slide ini bukan sekedar untuk presentasi kelas biasa. Slide ini adalah slide yang akan kugunakan untuk pertanggung jawaban skripsiku pada sidang besok siang. Slide yang isinya kurancang sebaik dan semudah mungkin untuk ku kuasai. Meskipun sudah tampak komplit, tapi sejak kemarin tetap saja aku merasa "Ah ini masih ada yang kurang, tapi apa?" perasaanku ini menjadi wajar mengingat aku tampaknya mengalami Nervouse Syndrom kegugupan yang sama yang kualami saat pertama kali aku melakukan presentasi makalahku di kelas 2 SMU dulu. Khawatir yang berlebihan bahkan kadang panik sendirian karena takut performance-ku nanti berantakan didepan para dosen penguji.
              Tok... tok... tok..!!!
            Lamunanku buyar saat kudengar suara ketukan pintu. Aku bergegas berdiri lalu membuka pintu kamar kostku. Ketika pintu terbuka, seperti biasa Nayla langsung menerobos masuk tanpa peduli dengan ekspresiku.
              "Mau menjarah buku apa komik?" Tanyaku sambil tersenyum
              "Hehehe... tau aja non, aku pinjem novelmu dong. Yang ber-setting kota Moscow Russia itu loh, apa ya judulnya kemarin aku lupa?" Jawab Nayla cengengesan.
              "Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy itu?" Tanyaku sambil mulai memilah-milah buku di rak bukuku.
              "Naahhh.. iya itu, bener. Sekalian sama komik serial misterimu yang aku lihat kemarin ya? udah kelar kan bacanya?" Lanjut Nayla
              "Oh itu, tuh disamping bantal, baru semalam selesai. Nah ini Novelnya" Ujarku begitu menemukan Novel yang diinginkan Nayla dari puluhan Novel yang tersusun rapi di rak bukuku, kemudian Novel tersebut kuberikan kepada Nayla.
               "Okeh, tengkyu non, pinjem dulu ya. Oh ya mau makan apa ntar malem? aku mau masak nih, udah lama kita nggak makan malem bareng kan? gara-gara kamu sibuk sama skripshitmu itu" Ujar Nayla sok ngomel.
               "Tumben masak, tapi aku nggak bisa bantuin masak lho, masih prepare buat sidang besok, eh tapi kamu nggak makan malam sama mas Angga mu itu?" Tanyaku seraya kembali duduk didepan laptopku.
                "Ah kamu pasti nggak tau kalau aku udah putus sama Mas Angga 2 bulan yang lalu, sibuk mulu sih... Huh.." Jawab Nayla sambil berpura-pura buang muka.
                "Haaa... yang bener kamu Nay? perasaan kamu pacaran sama dia kan belum sebulan" Tanyaku dengan raut wajah heran.
                "Udah nggak usah dibahas, lagian aku udah punya pacar baru kok hahaha... namanya Wira" Jawab Nayla tertawa seolah perkara punya pacar baru adalah hal yang sangat lucu. "Emangnya kamu 2 tahun kok nggak bisa move on, jomblo kok jadi hobby... preettt" Nayla mulai meledekku lagi.
               "Eh perempuan, hati-hati kalau bicara. Kalau tiba-tiba ketemu aku di luar lagi gandengan tangan mesra sama cowok tampan jangan ngamuk ya hahaha..." Balasku menjawab ledekan Nayla.
               "Halaahhh... buktikan dulu dong huuu..." Jawab Nayla seraya berlalu dari kamarku, lalu langsung masuk kamarnya yang terletak berhadapan dengan kamarku.
               Semenit kemudian aku kembali mendengar suara cempreng Nayla dari dalam kamarnya.
               "Non mau sekalian dimasakin nggak nih, gratis kok mau makan apa?" Ujarnya setengah berteriak, tampaknya Nayla sudah menuju dapur.
               Aku menjulurkan kepala keluar dari pintu lalu menjawab "Terserah kamu aja, aku ngikut Nay"
               "Oke, baiklah" Sahut Nayla
               Ketika aku akan menutup pintu kamar, aku mendengar ada suara motor berhenti didepan pagar kost, spontan aku langsung menuju teras. Kupikir itu pasti Zian, soalnya siang tadi Zian meng-SMS aku bilang mau datang mengembalikan Hardisk Eksternal milikku yang dia pinjam saat meng-copy film dari temannya. Namun bukan Zian yang kudapati saat sosok yang turun dari Motor itu membuka pagar lalu masuk.
              "Assalamu'alaikum" Sosok itu mengucapkan salam sambil tersenyum, sosok yang sukses membuatku terpaku ditempatku berdiri saat ini.
              "Rian..." Ujarku tertahan, "Eh.. Wa'alaikumsalam" Jawabku ketika teringat barusan Dia mengucapkan salam. Aku langsung menyadari situasi dan tiba-tiba aku jadi merasa canggung akan kehadiran Rian kembali.
              "Apa Kabar?" Tanya Rian, pertanyaan basa basi yang biasa sekali. "Lama ya nggak ketemu, boleh aku duduk Nuy?" Lanjut Rian
             "Oh iya, silahkan duduk. Kabarku baik walau sedang terkena Nervouse Syndrom" Jawabku apa adanya setelah pulih dari rasa terkejutku barusan.
             "Lho kenapa gugup? kaget ya liat aku tiba-tiba muncul?" Tanya Rian seraya kembali tersenyum. Senyum yang dulu begitu berarti untukku, namun terasa biasa saja saat ini.
             "Ah bukan gitu, soalnya besok aku mau sidang skripsi, jadi ya sindrom-sindrom nggak enak gitu mulai muncul" Jawabku mencoba menjelaskan agar Rian tidak salah paham.
             "Lho ada tamu kok nggak bilang-bilang? Aku buatin minum ya, mau teh mas?" Tiba-tiba Nayla sudah berdiri di depan pintu.
            "Iya boleh, jangan terlalu manis ya nanti diabetes" Jawab Rian dengan nada ramah pada Nayla.
            "Makasih ya Nay, maaf ngerepotin kamu" Ujarku pada Nayla
            "Okey, slow aja non" Jawabnya lalu menuju dapur.
            Semenit berlalu, tanpa ada yang bicara, baik aku maupun Rian sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian kuputuskan untuk buka suara duluan.
            "Ada perlu apa?" Tanyaku tanpa basa basi pada Rian
             "Hmmmm... apa ya, nggak sih cuma mau ngobrol-ngobrol aja sama kamu, nggak apa-apa kan?" Tanya Rian yang tetap stay dengan senyumannya.
            Sebenarnya aku sih merasa tidak apa-apa, hanya saja aku merasa canggung kalau dikunjungi seseorang yang pernah punya hubungan spesial denganku secara tiba-tiba begini. Terlebih dia sudah punya istri. Kemudian Nayla datang dengan 2 cangkir teh, lalu kembali ke dapur setelah sebelumnya senyum-senyum mencurigakan padaku. Seakan aku bisa melihat ada tulisan "Ciyeeee yang disamperin cowok tampan" dijidatnya.
             "Nggak apa-apa sih, cuma lain kali ajak istrimu lah. Aku nggak enak loh kalau seperti ini Rian. Kalau misal kebetulan ada orang yang kenal kamu atau istrimu kan bisa-bisa terjadi kesalahpahaman" Lanjutku berterus terang.
             Seketika ekspresi wajah Rian berubah, senyum itu langsung hilang. Dia meraih cangkir teh lalu meminumnya seteguk "Aku sudah berpisah dengannya, jadi kamu nggak perlu khawatir" Jawab Rian sembari meletakkan cangkir teh ketempatnya semula.
            Aku kembali dibuatnya terkejut, dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa lelaki ini selalu membawa kejutan tiap kali bertemu denganku kembali. Aku tak mengerti, kenapa hal semacam ini harus terjadi padaku, seolah bayangan masa lalu itu enggan pergi dari kehidupanku. Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang barusan kudengar.
            "Maksudmu, kamu...." Belum selesai aku melanjutkan kalimatku Rian menyela.
            "Iya, aku sudah bercerai Nuy" Ujar Rian seraya menghela nafas dalam.
            Aku kembali terdiam, aku tak mau berkomentar. Entah kenapa aku merasa aku tak berhak untuk berkomentar atas kehidupan Rian. Aku berpikir aku tak perlu bertanya mengapa mereka berpisah. Tidak, aku memang tidak ingin bertanya. Karena aku memang tidak ingin tahu, aku tidak ingin tahu sedikitpun tentang kisah Rian sebelumnya. Namun ditengah kebisuan kami berdua, tiba-tiba Rian mulai bercerita, aku sungguh tak ingin mendengar kisahnya. Aku berusaha acuh, aku berusaha tak peduli dengan cara bungkam. 
             Namun tetap saja Rian tetap bercerita, dan aku tak punya pilihan lain selain mendengarkan kisahnya. Ia mengatakan bahwa sejak Ia menikah, dia tak pernah lagi berpikir seperti apa masa depan. Dia hanya menjalani hidup selayaknya orang yang hidup. Setahun berlalu Istrinya tak jua kunjung hamil. Rian tak peduli, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dan anak bagi orang tuanya itu dianggapnya sudah lebih dari cukup. Dia tak ingin memikirkan apa yang di rasakan oleh Istrinya. 
             Hingga pernikahan mereka menginjak 19 bulan, Istrinya mulai meminta Rian berterus terang. Meskipun dikenal sabar, istri Rian tidaklah bodoh. Dia akhirnya mempertanyakan hal yang disebut kasih sayang pada Rian. Istrinya merasa Rian tak pernah menyayanginya selama 19 bulan mereka menikah. Dan Rian tanpa merasa canggung mengiyakannya. Setelah hari itu, Istrinya jarang sekali mau mengajak Rian bicara, hingga sebulan kemudian mereka memutuskan berpisah.
            "Setelah kami berpisah entah mengapa aku kembali memikirkan kamu Nuy, maaf" Ujar Rian, Dia berkata sembari menatap lurus kearah pekarangan dengan tatapan kosong.
            "Aku tahu ini tak sepantasnya aku katakan Nuy, tapi..."
            "Kamu ingin kita kembali seperti dulu?" Ujarku seraya menatap tajam kearah Rian. "Tolong katakan kalau apa yang barusan aku bilang itu salah" Lanjutku makin tajam.
            "Aku tahu kamu pasti tidak akan pernah mau melanjutkan hubungan kita, tapi maaf memang benar seperti itu yang aku harapkan" Rian menjawab tanpa berani menatap wajahku sedikit pun.
            "Tolong jangan membuatku goyah, aku masih butuh waktu untuk melupakan apa yang terjadi dulu Rian" Untuk beberapa saat hening diantara kami, lalu aku pun melanjutkan "Udah mau maghrib, sebaiknya kamu lekas pulang" Aku bergegas berdiri lalu langsung masuk ke dalam tanpa mendengar jawaban Rian.          

^_^ To Be Continue...^_^

Di Batas Asa "Part 4"                                                                            Dibatas Asa "Part 6 - Ending"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar