Pukul
8 malam kurang 5 menit Rian sudah duduk manis disofa usang diruang tamu
keluargaku. Dia hanya mengenakan atasan T-shirt berlengan panjang berwarna
putih dengan bawahan celana longgar berwarna coklat muda. Sesaat matanya
menyapu beberapa bagian ruang tamu, lalu kembali mengalihkan tatapan padaku.
“Nggak banyak yang berubah ya ruang
tamu ini setelah beberapa tahun” Ujarnya memulai pembicaraan. Dan lagi Ia
melemparkan senyuman khasnya yang penuh pesona padaku.
“Hemmm… ya begitulah, Ayah dan Ibu
rasanya sudah cukup tua kalau harus merubah tata letak perabot dirumah ini,
gampang kelelahan. Tahu sendirilah, aku dan adikku jarang dirumah. Apalagi
kakakku yang sudah berkeluarga” Jawabku mencoba bicara sesantai mungkin.
“Itu foto kamu waktu SMA ya?” Rian
menangkap sebuah gambar berbingkai ukuran 10 R yang terpajang disalah satu
dinding. Digambar itu terpampang fotoku yang masih mengenakan seragam coklat
khas pramuka.
“Oh itu, iya itu foto pas aku SMA”
Jawabku mengiyakan.
“Wajah kamu nggak banyak berubah ya
sampai sekarang, masih sama seperti dulu. Nggak terlihat bertambah usia”
Katanya sambil tak mengalihkan pandangan pada fotoku.
“Eh iya, mau minum apa? Sampai lupa
nawarin minum” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Dih udah kayak diwarung aja ditanya
mau minum apaan, ntar pulang jangan-jangan aku disuruh bayar nih?” Jawabnya
dengan nada bercanda.
“Iya ntar ada bon tagihannya, tenang
aja” Ujarku membalas candaannya.
“Yang gratis aja ada nggak? Hehehe…
terserah kamu aja, asal jangan minuman aneh” Lagi-lagi Rian menyunggingkan
senyuman mautnya.
“Oke baiklah, tunggu bentar ya” aku
pun beranjak menuju dapur untuk membuatkan minuman.
2 gelas teh madu hangat kini sudah
siap diatas nampan, segera kuambil setoples kecil camilan yang ada dilemari
makanan lalu membawanya ke ruang tamu.
“Nih minuman sama camilannya, cuma
ini aja yang ada nggak apa-apa kan?” Ujarku seraya menyuguhkan teh dan camilan
yang kubawa.
“Wih ada camilan segala, makasih ya.
Aku minum nih” Sambil tersenyum Rian langsung meminum seteguk teh yang
kubuatkan. Lalu tiba-tiba ekspresinya berubah. Aku terkejut jangan-jangan dia nggak
suka minum teh dengan madu.
“Rian… kamu kenapa?” Tanyaku sedikit
gusar.
“Ini tehnya nggak pakai gula ya?
Rasanya agak aneh, atau cuma perasaanku aja ya? Tapi enak sih” Ujarnya lalu
meminum teh itu lagi.
Aku lega ternyata dia memang hanya
belum terbiasa, sebenarnya teh madu adalah minuman favoritku. Menjadikan madu
sebagai pengganti gula bukanlah hal yang istimewa, hanya saja tampaknya itu
merupakan hal baru bagi Rian.
“Iya, itu teh nggak pakai gula,
gantinya aku kasih madu, tapi seger kan jadinya” Jawabku menjelaskan secara
singkat.
“He’eh… seger nih” Ujarnya lagi
seraya kembali menyeruput minumannya.
“Eh minumnya gitu banget, itu doyan
apa emang lagi haus?” Ujarku tersenyum pada Rian.
“Hehehe… enak sih soalnya” Jawabnya
sambil meletakkan gelas tehnya. “Oh iya sepertinya kamu betah banget ya di
Kota, sampai-sampai cuma sebulan sekali pulang kesini” Kali ini tampaknya Rian
benar-benar ingin ngobrol banyak.
“Ya dibetah-betahin aja, soalnya aku
kan juga ngelanjutin kuliah disana” Saat ini suasana antara kami sudah tak
secanggung tadi sore lagi. Layaknya sahabat lama yang sudah lama tak ngobrol banyak.
Situasinya pun mulai menjadi
hangat. Banyak hal yang ditanyakan Rian tentangku beberapa tahun terakhir. Dan
aku yang sudah mulai merasa nyaman dengan suasana ini bercerita banyak padanya,
tentang bagaimana aku hidup di Kota selama 5 tahun ini dan bagaimana aku
menjalani berbagai pekerjaan yang pernah aku lakukan di Kota. Dia cukup
antusias merespon ceritaku. Selain itu dia juga menceritakan tentang bagaimana
dia menjalani hidup setelah putus kontak denganku 5 tahun yang lalu.
Namun tampaknya Rian lebih
suka aku mendominasi cerita, ya.. dia terlihat sangat menikmati ketika aku
menceritakan kisahku padanya. Setiap aku bercerita tentang hidupku selama ini,
dia seperti tenggelam dalam cerita itu sendiri. Betapa dia seperti ingin berada
dan menyaksikan sendiri kisah itu. Ketika aku bercerita dia memasang mimik
wajah yang sulit diartikan, namun entah kenapa aku menyukai mimik itu. Tatapan
hangat itu, aku juga sangat menyukai mata itu. Tatapan yang tampak masih sama
seperti ketika kami masih bersama saat duduk di bangku SMP dulu.
“Nuy… Aku boleh nanya nggak?”
Tiba-tiba Rian bersuara saat aku berhenti bicara sejenak. Lalu suasana hening,
aku menunggu. Menunggu Rian melanjutkan kata-katanya. Namun tampaknya dia juga
melakukan hal yang sama, menunggu aku menjawab pertanyaannya.
“Eh.. hmmm.. Tanya aja Rian”
Jawabku, entah kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup. Seakan pertanyaan yang akan
dia ucapkan seperti bom waktu yang siap meluluh lantakkan hatiku. Jantungku pun
rasanya jadi berdebar lebih cepat.
“Sampai hari ini aku masih
belum nemu jawabannya, kenapa dulu setelah Ujian Akhir SMP kamu tiba-tiba minta
kita putus?” Kali ini ekspresi wajah Rian serius sekali, ia tak lagi tersenyum.
Tapi dimataku wajah tanpa senyum itu masih tetap tampan.
Hening, aku tak tahu harus memulai
jawaban dari mana, aku masih terlalu malu mengatakan alasannya. Alasan yang
dulu kuanggap logis, tapi saat ini alasan itu terdengar terlalu mengada-ada
jika kukatakan. Aku masih membisu, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk
kukatakan pada Rian. Rian masih diam, perlahan-lahan ekspresi seriusnya berubah
menjadi lebih santai. Lalu perlahan ia bersandar di sofa, tampaknya ia mencoba
rileks.
“Maaf ya Nuy kalau kamu kaget
dengan pertanyaanku” Ujar Rian, kini senyum itu kembali mengembang dibibirnya.
“Kok malah kamu yang minta
maaf” Ujarku sesaat setelah aku mulai tenang dari rasa gugupku tadi. “Yang
harusnya minta maaf itu aku, dulu aku kabur gitu aja kayak pengencut” Jawabku
sambil tersenyum kecut.
“Ih nggak usah senyum kalau
dipaksa, jelek Nuy” Jawab Rian santai.
“Iya deh iya, aku jawab jujur
nih biar kamu nggak penasaran terus. Dulu itu pas Kita selesai UN, aku merasa
aku pengen bebas. Lagi pula setelah lulus aku juga mau lanjutin SMA diluar,
jadi aku beranggapan kita nggak bakalan bisa sama-sama lagi Rian. Dalam
pikiranku saat itu, saat aku masuk SMA aku benar-benar ingin membuka lembaran
baru. Sekolah baru, guru baru, teman-teman baru, lingkungan baru….”
“Dan pacar baru…??” Potong
Rian, ucapannya membuat aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa dia berpikir
seperti itu. Bahkan selama di SMA aku nggak pernah benar-benar punya pacar.
Kalau pernah dekat sih memang ada beberapa kali. Tapi pacar baru kata Rian, itu
benar-benar diluar dari apa yang aku pikirkan.
“Hah…??? Pacar baru? Ngawur
kamu Rian, gimana mau pacaran juga. Selama SMA, jangankan pacaran. Bagi aku
saat itu cinta bukanlah sesuatu yang benar-benar nyata” Jawabku dingin.
Tiba-tiba sekilas aku teringat beberapa kenangan saat aku benar-benar menyukai
seseorang ketika SMA. Hanya saja perasaan itu pada akhirnya cuma menguap bagai
awan lalu menghilang perlahan, setelah sebelumnya meninggalkan segores luka.
Lebih dari itu aku tetap merasa baik-baik saja dengan kesendirianku.
Hening lagi. Dihadapanku, aku
masih melihat Rian menatapku penuh arti, arti yang tak bisa kuterjemahkan sama
sekali. Tatapan matanya begitu dalam, bahkan seperti berusaha memasuki hati dan
memastikan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Ingin kubuang pandangan, tapi
gagal. Mata itu seperti memiliki daya tarik kuat yang membuatku enggan
kehilangan tatapan itu.
“Kamu pernah merindukan aku
nggak Nuy” Tanya Rian lagi dengan suara pelan, nyaris tak terdengar sambil
melepaskan tatapannya dari mataku lalu sedikit menunduk.
“Pernah…” Jawabku tak kalah
pelan, aku meraih gelas tehku dan minum seteguk. Rian kembali mengangkat
wajahnya begitu mendengar jawabanku.
“Pernah?” Rian mencoba
meyakinkan jawabanku “Seberapa banyak Nuy?” Rian kembali bertanya.
“Entahlah, aku nggak bisa
memastikan seberapa banyak. Kadang aku berusaha melupakan perasaan itu, karena
aku merasa itu tak ada gunanya” Jawabku tertahan.
“Kadang? artinya kamu nggak
benar-benar ingin melupakan perasaan itu dong?” Tanya Rian penuh selidik, ia
pun mengangkat gelasnya lalu meminum beberapa teguk tehnya.
Aku bingung harus menjawab apa,
apa yang diucapkan Rian barusan memang benar adanya. Aku memang tak benar-benar
yakin ingin melupakan rasa rindu yang pernah muncul. Karena sejujurnya akupun
pernah menyesal karena mengakhiri hubungan kami dengan sikap egois. Suasana
kembali hening, aku tak punya kata-kata lagi yang bisa kukatakan untuk menjawab
pertanyaan Rian. Aku hanya bisa memandangi gelas tehku yang sudah kosong
setengahnya, lalu meraihnya perlahan.
“Nuy…” Rian kembali memanggil
namaku, nama ini cuma Rian yang menggunakannya untuk memanggilku. Aku pun
kembali menatap wajahnya, yang juga masih terlihat sama seperti 5 tahun lalu.
Seperti senyum hangatnya yang juga tak pernah berubah setelah tahun berganti
sebanyak 5 kali.
“Kamu tahu nggak, seberapa
banyak aku memikirkan tentang kamu selama bertahun-tahun ini? Kamu tahu nggak
seberapa banyak aku menahan hatiku ketika perasaan rindu itu hadir? Kamu pernah
nggak mikirin seberapa banyak aku mencoba untuk menemui kamu diluar sana?” Rian
menatapku dalam dengan tatapan teduhnya. Seakan dia benar-benar ingin aku
memahami apa yang selama ini dia simpan sendirian.
Dan lagi-lagi aku terdiam.
Aku tahu Rian, aku sangat tahu perasaan seperti itu. Karena aku pun pernah
merasakannya, bagaimana gelisahnya hatiku saat memikirkan dia. Bagaimana aku
selalu bertanya-tanya sendiri tentang perasaannya padaku. Aku sangat tahu
bagaimana sesaknya merindu seseorang yang tak pernah memandangku. Dan seperti
apa sulitnya mencoba untuk menemuinya. Dia yang kamu tak pernah tahu. Aku
sangat paham rasa itu Rian. Aku hanya bisa menjawab semua pertanyaan Rian dalam
hati.
“Aku tahu” hanya kata-kata
itu yang keluar dari bibirku, pelan sekali. Kupikir mungkin Rian tak akan
mendengarnya.
“Pasti, kamu pasti tahu kok
Nuy” Ujar Rian lagi sembari tersenyum. “Aku sempat menyesal dulu, menyesal
karena nggak berusaha bertahan. Menyesal karena membiarkan kamu pergi begitu
saja” Rian tersenyum lagi, tampak jelas dimatanya jika kini dia merasa sedikit
lega. Mungkin karena dia sudah berhasil menumpahkan rasa sesak dihatinya.
“Pernah nggak kamu berpikir
untuk kita kembali bersama lagi seperti dulu Nuy?” Kali ini tampak jelas
diwajahnya ekspresi itu, ekspresi penuh harap. Ekspresi yang sama ketika dia
pertama kali memintaku menjadi pacarnya di kelas 3 SMP.
Degghh..!!! sekali lagi
debaran tak wajar ini muncul, aku hanya terdiam, walau sebenarnya hati dan
pikiranku panik bukan main. Aku merasa dalam dadaku seperti sedang terjadi
badai dahsyat. Rasa gelisah, terkejut, tak percaya, bingung dan berbagai
perasaan serba entah. Terlalu sulit untuk dijelaskan, bahkan untuk menatap Rian
pun rasanya sulit. Tanganku hanya bisa menggenggam erat gelas teh yang sedari
tadi kupegang.
Ibarat ingin maju berperang, aku tak
memiliki sebuah senjata pun yang bisa kugunakan. Aku benar-benar mati kata. Tak
tahu harus menjawab apa. Sementara Rian diseberang sana, sudah menunggu
jawabanku dengan senyumannya yang selalu terlihat sangat mempesona.
^_^ * * * ^_^


Tidak ada komentar:
Posting Komentar