Sabtu, 15 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 2"



              Pukul 8 malam kurang 5 menit Rian sudah duduk manis disofa usang diruang tamu keluargaku. Dia hanya mengenakan atasan T-shirt berlengan panjang berwarna putih dengan bawahan celana longgar berwarna coklat muda. Sesaat matanya menyapu beberapa bagian ruang tamu, lalu kembali mengalihkan tatapan padaku.
            “Nggak banyak yang berubah ya ruang tamu ini setelah beberapa tahun” Ujarnya memulai pembicaraan. Dan lagi Ia melemparkan senyuman khasnya yang penuh pesona padaku.
            “Hemmm… ya begitulah, Ayah dan Ibu rasanya sudah cukup tua kalau harus merubah tata letak perabot dirumah ini, gampang kelelahan. Tahu sendirilah, aku dan adikku jarang dirumah. Apalagi kakakku yang sudah berkeluarga” Jawabku mencoba bicara sesantai mungkin.
            “Itu foto kamu waktu SMA ya?” Rian menangkap sebuah gambar berbingkai ukuran 10 R yang terpajang disalah satu dinding. Digambar itu terpampang fotoku yang masih mengenakan seragam coklat khas pramuka.
            “Oh itu, iya itu foto pas aku SMA” Jawabku mengiyakan.
            “Wajah kamu nggak banyak berubah ya sampai sekarang, masih sama seperti dulu. Nggak terlihat bertambah usia” Katanya sambil tak mengalihkan pandangan pada fotoku.
            “Eh iya, mau minum apa? Sampai lupa nawarin minum” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Dih udah kayak diwarung aja ditanya mau minum apaan, ntar pulang jangan-jangan aku disuruh bayar nih?” Jawabnya dengan nada bercanda.
            “Iya ntar ada bon tagihannya, tenang aja” Ujarku membalas candaannya.
            “Yang gratis aja ada nggak? Hehehe… terserah kamu aja, asal jangan minuman aneh” Lagi-lagi Rian menyunggingkan senyuman mautnya.
            “Oke baiklah, tunggu bentar ya” aku pun beranjak menuju dapur untuk membuatkan minuman.
            2 gelas teh madu hangat kini sudah siap diatas nampan, segera kuambil setoples kecil camilan yang ada dilemari makanan lalu membawanya ke ruang tamu.
            “Nih minuman sama camilannya, cuma ini aja yang ada nggak apa-apa kan?” Ujarku seraya menyuguhkan teh dan camilan yang kubawa.
            “Wih ada camilan segala, makasih ya. Aku minum nih” Sambil tersenyum Rian langsung meminum seteguk teh yang kubuatkan. Lalu tiba-tiba ekspresinya berubah. Aku terkejut jangan-jangan dia nggak suka minum teh dengan madu.
            “Rian… kamu kenapa?” Tanyaku sedikit gusar.
            “Ini tehnya nggak pakai gula ya? Rasanya agak aneh, atau cuma perasaanku aja ya? Tapi enak sih” Ujarnya lalu meminum teh itu lagi.
            Aku lega ternyata dia memang hanya belum terbiasa, sebenarnya teh madu adalah minuman favoritku. Menjadikan madu sebagai pengganti gula bukanlah hal yang istimewa, hanya saja tampaknya itu merupakan hal baru bagi Rian.
            “Iya, itu teh nggak pakai gula, gantinya aku kasih madu, tapi seger kan jadinya” Jawabku menjelaskan secara singkat.
            “He’eh… seger nih” Ujarnya lagi seraya kembali menyeruput minumannya.
            “Eh minumnya gitu banget, itu doyan apa emang lagi haus?” Ujarku tersenyum pada Rian.
            “Hehehe… enak sih soalnya” Jawabnya sambil meletakkan gelas tehnya. “Oh iya sepertinya kamu betah banget ya di Kota, sampai-sampai cuma sebulan sekali pulang kesini” Kali ini tampaknya Rian benar-benar ingin ngobrol banyak.
            “Ya dibetah-betahin aja, soalnya aku kan juga ngelanjutin kuliah disana” Saat ini suasana antara kami sudah tak secanggung tadi sore lagi. Layaknya sahabat lama yang sudah lama tak ngobrol banyak.
Situasinya pun mulai menjadi hangat. Banyak hal yang ditanyakan Rian tentangku beberapa tahun terakhir. Dan aku yang sudah mulai merasa nyaman dengan suasana ini bercerita banyak padanya, tentang bagaimana aku hidup di Kota selama 5 tahun ini dan bagaimana aku menjalani berbagai pekerjaan yang pernah aku lakukan di Kota. Dia cukup antusias merespon ceritaku. Selain itu dia juga menceritakan tentang bagaimana dia menjalani hidup setelah putus kontak denganku 5 tahun yang lalu.
Namun tampaknya Rian lebih suka aku mendominasi cerita, ya.. dia terlihat sangat menikmati ketika aku menceritakan kisahku padanya. Setiap aku bercerita tentang hidupku selama ini, dia seperti tenggelam dalam cerita itu sendiri. Betapa dia seperti ingin berada dan menyaksikan sendiri kisah itu. Ketika aku bercerita dia memasang mimik wajah yang sulit diartikan, namun entah kenapa aku menyukai mimik itu. Tatapan hangat itu, aku juga sangat menyukai mata itu. Tatapan yang tampak masih sama seperti ketika kami masih bersama saat duduk di bangku SMP dulu.
“Nuy… Aku boleh nanya nggak?” Tiba-tiba Rian bersuara saat aku berhenti bicara sejenak. Lalu suasana hening, aku menunggu. Menunggu Rian melanjutkan kata-katanya. Namun tampaknya dia juga melakukan hal yang sama, menunggu aku menjawab pertanyaannya.
“Eh.. hmmm.. Tanya aja Rian” Jawabku, entah kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup. Seakan pertanyaan yang akan dia ucapkan seperti bom waktu yang siap meluluh lantakkan hatiku. Jantungku pun rasanya jadi berdebar lebih cepat.
“Sampai hari ini aku masih belum nemu jawabannya, kenapa dulu setelah Ujian Akhir SMP kamu tiba-tiba minta kita putus?” Kali ini ekspresi wajah Rian serius sekali, ia tak lagi tersenyum. Tapi dimataku wajah tanpa senyum itu masih tetap tampan.
Hening, aku tak tahu harus memulai jawaban dari mana, aku masih terlalu malu mengatakan alasannya. Alasan yang dulu kuanggap logis, tapi saat ini alasan itu terdengar terlalu mengada-ada jika kukatakan. Aku masih membisu, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk kukatakan pada Rian. Rian masih diam, perlahan-lahan ekspresi seriusnya berubah menjadi lebih santai. Lalu perlahan ia bersandar di sofa, tampaknya ia mencoba rileks.
“Maaf ya Nuy kalau kamu kaget dengan pertanyaanku” Ujar Rian, kini senyum itu kembali mengembang dibibirnya.
“Kok malah kamu yang minta maaf” Ujarku sesaat setelah aku mulai tenang dari rasa gugupku tadi. “Yang harusnya minta maaf itu aku, dulu aku kabur gitu aja kayak pengencut” Jawabku sambil tersenyum kecut.
“Ih nggak usah senyum kalau dipaksa, jelek Nuy” Jawab Rian santai.
“Iya deh iya, aku jawab jujur nih biar kamu nggak penasaran terus. Dulu itu pas Kita selesai UN, aku merasa aku pengen bebas. Lagi pula setelah lulus aku juga mau lanjutin SMA diluar, jadi aku beranggapan kita nggak bakalan bisa sama-sama lagi Rian. Dalam pikiranku saat itu, saat aku masuk SMA aku benar-benar ingin membuka lembaran baru. Sekolah baru, guru baru, teman-teman baru, lingkungan baru….”
“Dan pacar baru…??” Potong Rian, ucapannya membuat aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu. Bahkan selama di SMA aku nggak pernah benar-benar punya pacar. Kalau pernah dekat sih memang ada beberapa kali. Tapi pacar baru kata Rian, itu benar-benar diluar dari apa yang aku pikirkan.
“Hah…??? Pacar baru? Ngawur kamu Rian, gimana mau pacaran juga. Selama SMA, jangankan pacaran. Bagi aku saat itu cinta bukanlah sesuatu yang benar-benar nyata” Jawabku dingin. Tiba-tiba sekilas aku teringat beberapa kenangan saat aku benar-benar menyukai seseorang ketika SMA. Hanya saja perasaan itu pada akhirnya cuma menguap bagai awan lalu menghilang perlahan, setelah sebelumnya meninggalkan segores luka. Lebih dari itu aku tetap merasa baik-baik saja dengan kesendirianku.
Hening lagi. Dihadapanku, aku masih melihat Rian menatapku penuh arti, arti yang tak bisa kuterjemahkan sama sekali. Tatapan matanya begitu dalam, bahkan seperti berusaha memasuki hati dan memastikan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Ingin kubuang pandangan, tapi gagal. Mata itu seperti memiliki daya tarik kuat yang membuatku enggan kehilangan tatapan itu.
“Kamu pernah merindukan aku nggak Nuy” Tanya Rian lagi dengan suara pelan, nyaris tak terdengar sambil melepaskan tatapannya dari mataku lalu sedikit menunduk.
“Pernah…” Jawabku tak kalah pelan, aku meraih gelas tehku dan minum seteguk. Rian kembali mengangkat wajahnya begitu mendengar jawabanku.
“Pernah?” Rian mencoba meyakinkan jawabanku “Seberapa banyak Nuy?” Rian kembali bertanya.
“Entahlah, aku nggak bisa memastikan seberapa banyak. Kadang aku berusaha melupakan perasaan itu, karena aku merasa itu tak ada gunanya” Jawabku tertahan.
“Kadang? artinya kamu nggak benar-benar ingin melupakan perasaan itu dong?” Tanya Rian penuh selidik, ia pun mengangkat gelasnya lalu meminum beberapa teguk tehnya.
Aku bingung harus menjawab apa, apa yang diucapkan Rian barusan memang benar adanya. Aku memang tak benar-benar yakin ingin melupakan rasa rindu yang pernah muncul. Karena sejujurnya akupun pernah menyesal karena mengakhiri hubungan kami dengan sikap egois. Suasana kembali hening, aku tak punya kata-kata lagi yang bisa kukatakan untuk menjawab pertanyaan Rian. Aku hanya bisa memandangi gelas tehku yang sudah kosong setengahnya, lalu meraihnya perlahan.
“Nuy…” Rian kembali memanggil namaku, nama ini cuma Rian yang menggunakannya untuk memanggilku. Aku pun kembali menatap wajahnya, yang juga masih terlihat sama seperti 5 tahun lalu. Seperti senyum hangatnya yang juga tak pernah berubah setelah tahun berganti sebanyak 5 kali.
“Kamu tahu nggak, seberapa banyak aku memikirkan tentang kamu selama bertahun-tahun ini? Kamu tahu nggak seberapa banyak aku menahan hatiku ketika perasaan rindu itu hadir? Kamu pernah nggak mikirin seberapa banyak aku mencoba untuk menemui kamu diluar sana?” Rian menatapku dalam dengan tatapan teduhnya. Seakan dia benar-benar ingin aku memahami apa yang selama ini dia simpan sendirian.
Dan lagi-lagi aku terdiam. Aku tahu Rian, aku sangat tahu perasaan seperti itu. Karena aku pun pernah merasakannya, bagaimana gelisahnya hatiku saat memikirkan dia. Bagaimana aku selalu bertanya-tanya sendiri tentang perasaannya padaku. Aku sangat tahu bagaimana sesaknya merindu seseorang yang tak pernah memandangku. Dan seperti apa sulitnya mencoba untuk menemuinya. Dia yang kamu tak pernah tahu. Aku sangat paham rasa itu Rian. Aku hanya bisa menjawab semua pertanyaan Rian dalam hati.
“Aku tahu” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirku, pelan sekali. Kupikir mungkin Rian tak akan mendengarnya.
“Pasti, kamu pasti tahu kok Nuy” Ujar Rian lagi sembari tersenyum. “Aku sempat menyesal dulu, menyesal karena nggak berusaha bertahan. Menyesal karena membiarkan kamu pergi begitu saja” Rian tersenyum lagi, tampak jelas dimatanya jika kini dia merasa sedikit lega. Mungkin karena dia sudah berhasil menumpahkan rasa sesak dihatinya.
“Pernah nggak kamu berpikir untuk kita kembali bersama lagi seperti dulu Nuy?” Kali ini tampak jelas diwajahnya ekspresi itu, ekspresi penuh harap. Ekspresi yang sama ketika dia pertama kali memintaku menjadi pacarnya di kelas 3 SMP.
Degghh..!!! sekali lagi debaran tak wajar ini muncul, aku hanya terdiam, walau sebenarnya hati dan pikiranku panik bukan main. Aku merasa dalam dadaku seperti sedang terjadi badai dahsyat. Rasa gelisah, terkejut, tak percaya, bingung dan berbagai perasaan serba entah. Terlalu sulit untuk dijelaskan, bahkan untuk menatap Rian pun rasanya sulit. Tanganku hanya bisa menggenggam erat gelas teh yang sedari tadi kupegang.
            Ibarat ingin maju berperang, aku tak memiliki sebuah senjata pun yang bisa kugunakan. Aku benar-benar mati kata. Tak tahu harus menjawab apa. Sementara Rian diseberang sana, sudah menunggu jawabanku dengan senyumannya yang selalu terlihat sangat mempesona.

^_^ * * * ^_^ 
 To be continue...
Di Batas Asa "Part 1"                                                                         Di Batas Asa "Part 3"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar