Kamis, 27 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 4"


                 
                 Dengan sedikit tergesa aku melangkah diatas jembatan papan di Desaku. Sejak turun dari angkutan umum yang membawaku tadi tak henti-hentinya aku melihat kesana kemari disetiap sudut jalan. Aku sangat berharap kembali bertemu dengan sosok Rian seperti sebulan yang lalu. Namun hingga teras rumahku terlihat, tak sedikitpun bayangan Rian yang tertangkap oleh mataku. Akhirnya aku hanya bisa berjalan lesu masuk ke dalam rumah.
            Setelah mengucapkan salam, diruang tamu kulihat Ayah tengah asyik membaca surat kabar dengan kaca mata bacanya yang sedikit melorot. Kemudian aku langsung menuju kamar, kuhempaskan tubuhku ditempat tidur seraya memejamkan mata sejenak.
            Kuraih ponsel dari saku jaketku, kucoba sekali lagi menghubungi Rian. Namun rupanya aku benar-benar belum beruntung, lagi-lagi sambungannya sibuk. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim SMS.

To : Rian

Rian, aku tak bisa menghubungimu. Hubungi aku kalau kamu sudah membaca SMS ini. Sekarang aku ada dirumah. Kamu tahukan aku tak bisa berlama-lama disini, besok aku akan kembali ke Kota. 

            Setengah jam berlalu setelah aku mengirim SMS pada Rian. Namun ponselku tak juga bordering ataupun mengeluarkan suara tanda ada SMS masuk.
Lagi-lagi kupejamkan mata, sambil memikirkan kembali pembicaraan kami di puncak bukit saat itu. Entah kenapa dadaku terasa amat sesak, hingga tanpa sadar butiran bening dari mataku menetes, hingga akhirnya akupun terlelap dengan perasaan yang tak menentu.
Aku terbangun oleh suara ibu yang memanggil namaku dari balik pintu kamar, kepalanya menyembul sedikit diantara daun pintu. Beliau rupanya baru selesai mandi sore. Kulirik ponselku, tak jua ada pesan masuk ataupun panggilan. Dengan perasaan malas akupun bangkit dari tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil handuk untuk bersiap mandi sore.
Setelah selesai membersihkan diri aku membantu ibu mempersiapkan makanan untuk makan malam, sebentar lagi maghrib. Kulihat Ayah sudah rapi dengan pakaian muslimnya, beliau biasa sholat maghrib di Masjid besar, karena jaraknya memang tidaklah terlalu jauh dari rumah.
Setelah lewat waktu maghrib, aku bersegera menata makan malam sambil menunggu Ayah kembali dari Masjid. Begitu beliau datang, kamipun makan malam bersama. Ibu sempat menanyakan kuliah dan pekerjaanku. Aku pun menjawab dengan baik seperti biasanya.
Ayah juga mulai membahas mengenai informasi politik yang beliau ketahui dari televise dan surat kabar. Meskipun tergolong awam, Ayahku adalah tipe orang yang cukup sensitif terhadap berita politik Negara ini. Beliau sempat berkomentar terhadap pemberitaan mengenai konflik antara KPK dan Polri yang baru-baru ini beritanya makin memanas. Tak lupa juga beliau mengamati kinerja pemimpin baru Negara ini.
Tak seperti biasanya yang selalu antusias dengan obrolan atau komentar Ayah tentang kemelut politik sekarang. Aku justru lebih banyak diam dan kurang menyimak tentang apa yang Ayah katakan. Sebagai mahasiswa fakultas Ekonomi disalah satu Universitas paling besar di Ibu Kota Provinsi ini, Ayah menaruh harapan besar padaku agar kelak aku dapat mengamalkan ilmuku dengan benar untuk kemajuan Desa. Berulang kali beliau mengingatkan aku agar dimana pun aku bekerja kelak, aku selalu waspada dengan sesuatu yang berbau korupsi.
Pukul tujuh lewat 17 menit. Tak lama lagi waktu masuk sholat Isya’. Setelah selesai makan malam, aku pun menuju teras. Duduk di bangku kayu sambil memeluk kedua lututku. Sesekali melirik layar ponsel. Entah kenapa aku saat ini sangat berharap Rian muncul dihadapanku. Dia tak perlu bicara, cukup tersenyum manis seperti biasa saja padaku, bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Tak lama kemudian aku melihat sosok sahabatku dari SD muncul, namanya Putri. Dengan berkacak pinggang ia berdiri dihadapanku.
“Heh… pulang kok nggak bilang-bilang?” Putri langsung menodongku dengan pertanyaannya yang lebih mirip omelan. Akupun langsung meluruskan dudukku.
“Halah kamu kayak nggak tau aku aja, aku kan sebulan sekali pasti balik kesini, masa kudu lapor-lapor sama kamu dulu, satpam kali” Cibirku pada Putri. Kulihat Putri malah ngakak, lalu mengambil tempat duduk di sebelah kiriku.
“Hemmm.. waktu memang cepet banget ya berlalu” Putri bicara sambil melayangkan pandangannya kearah langit yang gelap yang dihiasi bintik-bintik cahaya kecil dikejauhan.
“Ah sok romantis, kenapa lagi ini anak?” Ujarku bersungut-sungut sambil ikut memandang langit.
“Yah rasanya baru kemarin aja aku jadi Mak Comblangnya kamu sam Rian” Celetuk Putri tanpa mengalihakan tatapannya dari langit.
Aku tersenyum tipis, “Iya deh, kamu memang Mak Comblang paling berbakat yang pernah ada” Jawabku mencoba merespon kata-kata Putri. Namun Putri tiba-tiba memandangku dengan tatapan heran.
“Eh kamu sebenernya udah tau atau belum sih soal Rian?” Tanya Putri dengan tatapan menyelidik.
“Lho emangnya ada apa sama Rian?” Seminggu yang lalu aku ada ketemu dia kok di Kota. Ngobrol bareng bahkan jalan bareng juga” jawabku setengah heran dengan pertanyaan Putri.
“Jalan bareng? Lalu dia nggak ngomong apa-apa soal….” Kata-kata Putri terputus, kulihat dia mengatupkan kedua belah telapak tangannya ke mulutnya, seolah-olah dia sudah kelepasan bicara.
“Soal apaan?” Aku makin curiga dengan gelagat Putri.
Dengan tatapan yang sulit kumengerti, Putri menatapku dengan sikap kebingungan. Aku memberinya waktu agar lebih rileks. Meskipun aku penasaran dengan apa yang ingin dia katakan, aku mencoba menahan diri. Karena aku mengerti dengan baik seperti apa watak Putri.
Beberapa menit kemudia suara Putri memecah kesunyian diantara kami. Dengan nada suara yang teramat berat akhirnya Putri angkat bicara.
“Aku masih nggak percaya kalau Rian nggak ngomong apa-apa soal dia sama kamu. Serius kamu nggak tau sama sekali?” Putri kembali bicara dengan tatapan penuh penyesalannya.
“Enggak, aku malah makin bingung sama ocehan kamu, udah ngomong aja kenapa sih?” Jawabku sambil memain-mainkan gantungan ponselku.
“Besok Rian nikah Nung” Ujar Putri dengan suara parau.
Jleeebh…!!! rasanya dadaku seperti dihantam benda berat. Kata-kata Putri barusan benar-benar membuat pandangan mataku seperti bergoyang kekiri dan kekanan. Aku masih tak bisa menerima dengan baik apa yang dikatakan Putri barusan.
Hening… mungkin hampir sepuluh menit aku mematung ditempatku. Disampingku Putri terlihat benar-benar gelisah dan frustasi melihat aku yang tak juga bergeming setelah apa yang dia katakan barusan. Hingga akhirnya aku pun bersuara memecah kesunyian diantara kami berdua.
“Makasih ya Put, sudah ngasih tau aku, setidaknya aku tahu apa alasannya Rian tiba-tiba menghilang seminggu ini” Jawabku dengan nada getir.
Akhirnya malam itu Putri pamit pulang setelah menceritakan semua persiapan pernikahan Rian. Dia akan menikah dengan seorang gadis yang berasal dari kampong halaman Ayahnya. Menurut Putri antara Rian dan gadis itu hanya terjadi perkenalan singkat. Karena keluarga kedua belah pihak sudah saling menyetujui pernikahan tersebut.
Rian sempat mencoba menolak perjodohan itu. Namun rupanya Ayahnya yang memiliki sifat keras dan Otoriter itupun tak mampu dilawannya. Yang Rian bisa lakukan hanya mengulur waktu selama mungkin, hingga ia bisa mendapat kesempatan untuk bertemu denganku sekali lagi. Aku tahu dengan baik, sosok lelaki seperti Rian bukanlah tipe anak yang bisa menentang keinginan orang tuanya. Sikap santunnya terhadap orang yang lebih tua maupun sesama teman sudah menjadi ciri khas seorang Rian.
Kedatangan Rian seminggu yang lalu tampaknya merupakan sebuah langkah baginya untuk menguatkan hati dan niatnya untuk menolak perjodohan itu.
Akad nikahnya akan diadakan jam sepuluh pagi besok dirumah Rian. Dan acara resepsinya akan di gelar seminggu kemudian. Akhirnya kini aku merasa benar-benar telah menemukan jawaban atas tingkah Rian pada saat terakhir kami bertemu.
Lagi-lagi aku mematung dikamarku. Tak lagi aku menatap ponselku. Rasanya tak perlu lagi aku mengharapkan ada telepon masuk atau pesan dari Rian. Aku terlalu malu mengakui kebodohanku, kebodohanku yang tak bisa menangkap apa yang sedang dialami oleh Rian saat itu. Malah aku dengan egois tetap memberikan ketidakpastian pada Rian.
Rasanya ingin sekali aku menangis, tapi air mata seperti enggan menetes. Tiba-tiba ponselku bordering. Kutatap layar ponsel, tertera nama Rian disana. Rian menelepon, segera kusambar ponselku. Namun aku kembali terdiam saat jariku siap menekan tombol hijau.
Mungkinkah malam ini Rian ingin menjelaskan segalanya padaku? Mungkinkan Rian ingin mengatakan kalau besok Ia akan menikah? Atau mungkin Rian hanya ingin mengucapkan salam perpisahan?. Seketika aku bergidik ngeri. Entah kenapa aku jadi begitu takut jika hal itu benar-benar terjadi. Meskipun sudah sejak beberapa hari ini aku amat merindukan suara Rian.
Ponselku berhenti bordering, aku bangkit dari kursi dikamarku, lalu menuju tempat tidur sambil memandangi ponselku. Sekali lagi tampak dilayar ponselku nama Rian muncul. Dia menelepon lagi. Aku hanya memandangi layar ponsel dalam diam. Aku seperti tak punya kekuatan, bahkan hanya sekedar menekan tombol Oke pada ponselku.
Hingga panggilan itu terhenti, aku masih menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Aku benar-benar tak ingin mempercayai kenyataan jika Rian akan menikah besok. Kenapa harus besok? Kenapa aku harus tahu semuanya bukan dari Rian langsung?. Beberapa saat kemudian kulihat ada SMS masuk. Bagai tak ingin kehilangan kesempatan, aku cepat-cepat membuka SMS dan mebaca pesan yang ada disana.
From : Rian

Nuy, sudah tidur? Maaf seminggu ini aku tidak memberimu kabar. Dan maaf juga jika pada akhirnya aku tak bisa lagi menunggu hatimu. Sekeras apapun aku berusaha, sepertinya keberuntungan sedang tidak memihak padaku. Sekuat apapun aku mempertahankan dan menjaga hatiku hanya untuk kamu. Namun jika Tuhan tak menginginkan aku memilikimu, aku bisa apa? Jangan salahkan dirimu, karena aku tak bisa menyalahkanmu Nuy… Aku yg bersalah, karena dimataku kamu hanya berusaha jujur tentang apa yg kamu rasakan.
            Lalu pesan kedua pun masuk menyusul.
From : Rian

Tapi meskipun begitu, aku tetap akan mendoakan yg terbaik untukmu dan masa depanmu nanti. Aku berharap kamu nggak syok berat atas hal ini. Aku percaya, kamu wanita yg kuat. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti menyukaimu. Maaf jika salam perpisahan ini terkesan seperti pengecut. Aku bahkan tak akan menolak jika kamu menyebutku pecundang. Aku berharap suatu hari kamu akan menemukan sosok yang bisa membuatmu menghilangkan keraguanmu. Sekali lagi aku minta maaf, doaku untukmu, kelak semoga kamu selalu berbahagia, meskipun itu bukan denganku. Dan jika kelak kita bertemu kembali aku masih berharap kamu bisa mengatakan bahwa aku adalah lelaki yg pernah kamu sayangi.

            Tanpa disadari, air mataku menetes perlahan membasahi pipi. Inikah yang namanya perpisahan, seperti inikah rasanya penyesalan, dan seperti inikah rasanya kehilangan. Kehilangan seseorang yang bahkan tadinya sudah didepan mata. Aku kecewa, aku menyebut ini kebodohan, hanya karena sedikit keraguan akhirnya aku kehilangan. Untuk sesaat aku sempat tertawa, mungkin lebih terlihat menyeringai karena marah, ketika teringat kaat-kata terakhir di SMS Rian barusan. Namun kemudian aku kembali merasa begitu sedih, perasaanku begitu kerdil ketika menyadari jika aku benar-benar telah kehilangan sosok yang akhir-akhir ini secara diam-diam aku inginkan.

^_^ * * * ^_^
To be continue... 

Di Batas Asa "Part 3"                                                            Di Batas Asa "Part 5"

Selasa, 25 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 3"



             Tiga minggu sudah berlalu sejak kunjungan Rian kerumahku di Desa. Malam itu akhirnya Rian pulang tanpa mendapat kepastian apapun dariku. Bagiku pernyataan Rian terlalu tiba-tiba. Aku butuh waktu untuk berpikir. Tidak, sebenarnya aku bukan butuh waktu untuk berpikir. Aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan kembali perasaanku. Aku hanya butuh waktu untuk mencari jawaban apa sebenarnya yang membuat debaran itu kembali muncul ketika aku bersama Rian. Apakah aku benar masih memiliki rasa yang sama seperti dulu. Ataukah itu hanya sebatas spontanitasku saja yang tiba-tiba bertemu dengannya.
            Malam itu kukatakan pada Rian jika aku butuh waktu. Butuh waktu untuk untuk membuat keputusan yang tepat, agar tak lagi ada penyesalan. Akhirnya kami sepakat bertukar nomor kontak. Aku bisa memberikan jawabanku kapan saja ketika aku sudah mantap. Begitu yang Rian katakan padaku malam itu sebelum Ia pamit pulang.
            Ponselku bergetar keras disaku jaketku. Pikiranku yang tadinya begitu sibuk seketika buyar. Kuraih ponselku, ada sebuah pesan singkat yang baru masuk. Pesan yang ternyata dari Rian.
From : Rian

Masih dikampus? Kira-kira pulang jam berapa?
Dengan santai kubalas pesan dari Rian, sejak pertemuan kami 3 minggu yang lalu, sekarang  memang komunikasi kami makin intens.
To : Rian

Kayaknya sekitar jam limaan, kenapa? Tumben nanyain aku pulang kuliah jam berapa.

            Tak sampai 2 menit balasan pesan dari Rian pun kembali masuk. Sambil berjalan menuju kelas aku membaca pesan singkat Rian.
From : Rian

Habis kuliah, kerja lagi?


To : Rian

Engga, hari ini jatahku libur.


From : Rian

Kalau gitu aku jemput dikampus ya? Aku lagi dikota nih, baru kelar urusan. Gimana? Bisa?


To : Rian

Oh gitu, boleh aja. Kampusku di Jl. Meranti No. 18 nanti jam 5 kalau udah didepan gerbang sms lagi aja. Btw dosenku udah masuk nih, See you ya.


From : Rian

Oke, belajar yg fokus ya. Jangan mikirin aku terus hehehe… I’m Really Miss U, wait me… I’ll hugged you today ˆ–ˆ

            Aku hanya tersenyum tipis membaca sms terakhir Rian. Setelah itu buru-buru ponsel kuselipkan lagi disaku jaket. Lalu mengikuti kuliah seperti biasa. Tanpa terasa sesi kuliah dikelas terakhir hari ini pun berakhir. Kulirik jam dipergelangan tanganku. Pukul 5 kurang 20 menit, masih lumayan banyak waktu sebelum tepat jam 5. Kubereskan buku dan alat tulisku lalu beranjak meninggalkan kelas.
            “Eh boncel langsung pulang? Mau bareng?” Uni teman sekelasku menghampiriku.
            “Issshh… lengket banget kayaknya manggil aku boncel, mentang-mentang aku pendek” Jawabku pura-pura ngambek.
            “Hahaha… dih pura-pura marah, eh panggilan boncel itu kedengeran imut tau” Ujar Uni berkilah.
            “Kamu pulang duluan aja, aku sudah ada janji sama orang” Jawabku sembali menggendong backpack-ku.
            “Oww… ya udeh kalau begitu, aku duluan yaaa, dah..” Uni pun langsung melangkah menuju parkiran, sedangkan aku menuju kantin, berniat membeli minuman, karena sejak dikelas tadi aku merasa haus sekali.
            Setelah membeli sebotol minuman dingin aku berjalan pelan menuju gerbang. Ponsel di sakuku pun kembali bergetar. Setelah membuka SMS aku pun tahu, rupanya Rian sudah menunggu digerbang depan. Kali ini aku berjalan agak sedikit lebih cepat dari tadi.
            Sesampainya digerbang kampus, aku mendapati Rian tengah duduk manis diatas motor Matic-nya sambil memangku helm di pahanya. Aku pun melambaikan tangan kearah Rian yang ternyata sudah melihatku dari kejauhan. Ia hanya merespon dengan senyuman.
            “Yuk jalan?!” Tanpa basa basi Rian langsung memberiku sebuah helm yang rupanya sudah Ia siapkan. Sepertinya Rian ingin mengajakku kesuatu tempat kali ini.
            “Mau kemana kita?” Tanyaku seraya menyambut helm yang disodorkan Rian padaku lalu mengenakannya
            “Udah ikut aja, dulu kan waktu SMP kita nggak pernah jalan-jalan begini” Jawab Rian seraya menyalakan mesin motornya. Akupun langsung naik dan duduk dijok belakang. Saat itu jalanan disekitar kampus makin ramai, karena memang jam segini jamnya padat kendaraan berlalu lalang.
            Diluar dugaanku, ternyata Rian tidak membawaku mengunjungi suatu tempat. Dia hanya membawaku berkeliling kota sore ini. Hingga akhirnya Rian menghentikan mesin motornya. Kini kami berada agak jauh dari keramaian kota. Tepatnya kini kami berada ditepi jalan diatas sebuah bukit. Yang mana kini dihadapan kami ratusan cahaya lampu tampak berkelap kelip dikejauhan. Cahaya matahari diufuk barat makin meredup menandakan malam akan segera tiba.
            Indah… pemandangan lampu-lampu dirumah penduduk dibawah sana mirip dengan cahaya kunang-kunang dimalam hari. Aku begitu menikmati suasana senja ini. Meskipun beberapa kendaraan masih melintas dijalan raya, tak mengurangi indahnya suasana ditempat ini.
            “Nuy… apa kabar hati kamu sekarang?” pertanyaan Rian barusan sebenarnya hanya basa basi saja. Aku tahu dengan jelas, jika sebenarnya dia sedang menagih jawaban dan kepastian dariku atas hubungan kami.
            “Aku masih belum yakin Rian, dan bahkan mungkin juga aku nggak akan pernah yakin tentang perasaanku sama kamu” Tiba-tiba saja lidahku dengan lancarnya memberikan jawaban pada Rian.
            Rian menghela napas berat, entah kenapa aku seakan merasa Rian saat ini tengah memiliki masalah yang sangat serius. Aku menangkap rasa gelisah diwajahnya. Terlihat seperti ada yang ingin sekali diungkapkannya. Aku menunggu. Kali ini Rian menatapku penuh arti, tatapannya seolah Ia sedang bicara, tapi aku tak bisa mendengarnya. Kemudian Rian tersenyum lembut ia meraih tanganku lalu dengan gerakan mantap ia memeluk tubuh mungilku.
            Hening… aku cuma bisa terdiam, membisu dalam pelukan Rian. Aku seakan dapat merasakan debaran jantung Rian. Debaran itu awalnya kencang, lalu perlahan-lahan mereda hingga tersisa debaran-debaran lembut saja. Beberapa saat aku masih menunggu, menunggu sesuatu yang mungkin ingin dikatakan Rian. Tapi ia bagai mematung memelukku dalam diam. Akhirnya kuberanikan diri mengangkat lengan kiriku, kusentuh bahunya agar ia tersadar.
“Rian… kamu kenapa?” Tanyaku seraya mengusap lembut pundaknya. Seketika Rian seperti mulai sadar kembali. Lalu perlahan melepaskan pelukannya dariku. Sekali lagi dia menatapku penuh arti lalu tersenyum manis sekali.
            “Aku masih ingin menunggu hatimu Nuy” Rian meraih kedua lenganku lalu menggenggap jemariku erat. “Aku ingin menunggu hatimu sebisaku, kamu boleh pegang kata-kataku. Karena aku percaya, suatu hari nanti kamu akan bisa meyakinkan perasaan kamu sama aku”. 
            “Maaf Rian, maaf karena aku menempatkanmu pada sebuah ketidakpastian” Jawabku penuh rasa sesal.
            “Iya aku maafin, aku mengerti kok apa yang kamu rasakan. Aku setuju aja kalau kamu nggak yakin, jangan buru-buru bikin keputusan” Ujar Rian mencoba menenangkan rasa bersalahku. “Yuk aku antar kamu pulang, udah makin gelap aja nih” Sambungnya seraya menarik tanganku menuju motornya.
            Malam itu kami sama-sama membisu dalam perjalanan pulang ke kostku. Tadi Rian sempat mengatakan kalau aku tak perlu mengkhawatirkan dimana dia akan menginap malam ini. Karena dia akan menginap dirumah saudaranya. Besok pagi-pagi sekali baru dia pulang ke Desa, mungkin akan langsung mengajar disekolah seperti biasa. Ya kini Rian adalah seorang pengajar honorer di SMP kami dulu.
            Setelah mengantarku sampai dihalaman kostku. Rian langsung pamit menuju rumah saudaranya. Sekali ini aku dapat melihat ekspresi bahagia diwajahnya. Setelah mengusap lembut kepalaku, dia langsung melaju dengan motor Matic-nya.
            Sepekan sudah berlalu sejak pembicaraan kami dipuncak bukit waktu itu. Selama sepekan ini pula aku tak mengetahui kabar Rian. Satu SMS pun tak ada ia kirimkan. Bahkan ketika aku mencoba menelepon Rian, sambungannya selalu saja sibuk. Aku berpikir mungkinkah Rian membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan hatinya? aku kembali gelisah. Apa mungkin sedang terjadi sesuatu dengannya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Hingga akhirnya kuputuskan minggu ini untuk pulang ke Desa lagi seperti biasa. Aku Berharap dapat melihatnya. Setidaknya aku tahu bahwa Ia masih baik-baik saja.

^_^ * * * ^_^
To be continue... 

Di Batas Asa "Part 2"                                                                         Di Batas Asa "Part 4"

Sabtu, 15 Agustus 2015

Dibatas Asa "Part 2"



              Pukul 8 malam kurang 5 menit Rian sudah duduk manis disofa usang diruang tamu keluargaku. Dia hanya mengenakan atasan T-shirt berlengan panjang berwarna putih dengan bawahan celana longgar berwarna coklat muda. Sesaat matanya menyapu beberapa bagian ruang tamu, lalu kembali mengalihkan tatapan padaku.
            “Nggak banyak yang berubah ya ruang tamu ini setelah beberapa tahun” Ujarnya memulai pembicaraan. Dan lagi Ia melemparkan senyuman khasnya yang penuh pesona padaku.
            “Hemmm… ya begitulah, Ayah dan Ibu rasanya sudah cukup tua kalau harus merubah tata letak perabot dirumah ini, gampang kelelahan. Tahu sendirilah, aku dan adikku jarang dirumah. Apalagi kakakku yang sudah berkeluarga” Jawabku mencoba bicara sesantai mungkin.
            “Itu foto kamu waktu SMA ya?” Rian menangkap sebuah gambar berbingkai ukuran 10 R yang terpajang disalah satu dinding. Digambar itu terpampang fotoku yang masih mengenakan seragam coklat khas pramuka.
            “Oh itu, iya itu foto pas aku SMA” Jawabku mengiyakan.
            “Wajah kamu nggak banyak berubah ya sampai sekarang, masih sama seperti dulu. Nggak terlihat bertambah usia” Katanya sambil tak mengalihkan pandangan pada fotoku.
            “Eh iya, mau minum apa? Sampai lupa nawarin minum” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Dih udah kayak diwarung aja ditanya mau minum apaan, ntar pulang jangan-jangan aku disuruh bayar nih?” Jawabnya dengan nada bercanda.
            “Iya ntar ada bon tagihannya, tenang aja” Ujarku membalas candaannya.
            “Yang gratis aja ada nggak? Hehehe… terserah kamu aja, asal jangan minuman aneh” Lagi-lagi Rian menyunggingkan senyuman mautnya.
            “Oke baiklah, tunggu bentar ya” aku pun beranjak menuju dapur untuk membuatkan minuman.
            2 gelas teh madu hangat kini sudah siap diatas nampan, segera kuambil setoples kecil camilan yang ada dilemari makanan lalu membawanya ke ruang tamu.
            “Nih minuman sama camilannya, cuma ini aja yang ada nggak apa-apa kan?” Ujarku seraya menyuguhkan teh dan camilan yang kubawa.
            “Wih ada camilan segala, makasih ya. Aku minum nih” Sambil tersenyum Rian langsung meminum seteguk teh yang kubuatkan. Lalu tiba-tiba ekspresinya berubah. Aku terkejut jangan-jangan dia nggak suka minum teh dengan madu.
            “Rian… kamu kenapa?” Tanyaku sedikit gusar.
            “Ini tehnya nggak pakai gula ya? Rasanya agak aneh, atau cuma perasaanku aja ya? Tapi enak sih” Ujarnya lalu meminum teh itu lagi.
            Aku lega ternyata dia memang hanya belum terbiasa, sebenarnya teh madu adalah minuman favoritku. Menjadikan madu sebagai pengganti gula bukanlah hal yang istimewa, hanya saja tampaknya itu merupakan hal baru bagi Rian.
            “Iya, itu teh nggak pakai gula, gantinya aku kasih madu, tapi seger kan jadinya” Jawabku menjelaskan secara singkat.
            “He’eh… seger nih” Ujarnya lagi seraya kembali menyeruput minumannya.
            “Eh minumnya gitu banget, itu doyan apa emang lagi haus?” Ujarku tersenyum pada Rian.
            “Hehehe… enak sih soalnya” Jawabnya sambil meletakkan gelas tehnya. “Oh iya sepertinya kamu betah banget ya di Kota, sampai-sampai cuma sebulan sekali pulang kesini” Kali ini tampaknya Rian benar-benar ingin ngobrol banyak.
            “Ya dibetah-betahin aja, soalnya aku kan juga ngelanjutin kuliah disana” Saat ini suasana antara kami sudah tak secanggung tadi sore lagi. Layaknya sahabat lama yang sudah lama tak ngobrol banyak.
Situasinya pun mulai menjadi hangat. Banyak hal yang ditanyakan Rian tentangku beberapa tahun terakhir. Dan aku yang sudah mulai merasa nyaman dengan suasana ini bercerita banyak padanya, tentang bagaimana aku hidup di Kota selama 5 tahun ini dan bagaimana aku menjalani berbagai pekerjaan yang pernah aku lakukan di Kota. Dia cukup antusias merespon ceritaku. Selain itu dia juga menceritakan tentang bagaimana dia menjalani hidup setelah putus kontak denganku 5 tahun yang lalu.
Namun tampaknya Rian lebih suka aku mendominasi cerita, ya.. dia terlihat sangat menikmati ketika aku menceritakan kisahku padanya. Setiap aku bercerita tentang hidupku selama ini, dia seperti tenggelam dalam cerita itu sendiri. Betapa dia seperti ingin berada dan menyaksikan sendiri kisah itu. Ketika aku bercerita dia memasang mimik wajah yang sulit diartikan, namun entah kenapa aku menyukai mimik itu. Tatapan hangat itu, aku juga sangat menyukai mata itu. Tatapan yang tampak masih sama seperti ketika kami masih bersama saat duduk di bangku SMP dulu.
“Nuy… Aku boleh nanya nggak?” Tiba-tiba Rian bersuara saat aku berhenti bicara sejenak. Lalu suasana hening, aku menunggu. Menunggu Rian melanjutkan kata-katanya. Namun tampaknya dia juga melakukan hal yang sama, menunggu aku menjawab pertanyaannya.
“Eh.. hmmm.. Tanya aja Rian” Jawabku, entah kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup. Seakan pertanyaan yang akan dia ucapkan seperti bom waktu yang siap meluluh lantakkan hatiku. Jantungku pun rasanya jadi berdebar lebih cepat.
“Sampai hari ini aku masih belum nemu jawabannya, kenapa dulu setelah Ujian Akhir SMP kamu tiba-tiba minta kita putus?” Kali ini ekspresi wajah Rian serius sekali, ia tak lagi tersenyum. Tapi dimataku wajah tanpa senyum itu masih tetap tampan.
Hening, aku tak tahu harus memulai jawaban dari mana, aku masih terlalu malu mengatakan alasannya. Alasan yang dulu kuanggap logis, tapi saat ini alasan itu terdengar terlalu mengada-ada jika kukatakan. Aku masih membisu, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk kukatakan pada Rian. Rian masih diam, perlahan-lahan ekspresi seriusnya berubah menjadi lebih santai. Lalu perlahan ia bersandar di sofa, tampaknya ia mencoba rileks.
“Maaf ya Nuy kalau kamu kaget dengan pertanyaanku” Ujar Rian, kini senyum itu kembali mengembang dibibirnya.
“Kok malah kamu yang minta maaf” Ujarku sesaat setelah aku mulai tenang dari rasa gugupku tadi. “Yang harusnya minta maaf itu aku, dulu aku kabur gitu aja kayak pengencut” Jawabku sambil tersenyum kecut.
“Ih nggak usah senyum kalau dipaksa, jelek Nuy” Jawab Rian santai.
“Iya deh iya, aku jawab jujur nih biar kamu nggak penasaran terus. Dulu itu pas Kita selesai UN, aku merasa aku pengen bebas. Lagi pula setelah lulus aku juga mau lanjutin SMA diluar, jadi aku beranggapan kita nggak bakalan bisa sama-sama lagi Rian. Dalam pikiranku saat itu, saat aku masuk SMA aku benar-benar ingin membuka lembaran baru. Sekolah baru, guru baru, teman-teman baru, lingkungan baru….”
“Dan pacar baru…??” Potong Rian, ucapannya membuat aku benar-benar terkejut. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu. Bahkan selama di SMA aku nggak pernah benar-benar punya pacar. Kalau pernah dekat sih memang ada beberapa kali. Tapi pacar baru kata Rian, itu benar-benar diluar dari apa yang aku pikirkan.
“Hah…??? Pacar baru? Ngawur kamu Rian, gimana mau pacaran juga. Selama SMA, jangankan pacaran. Bagi aku saat itu cinta bukanlah sesuatu yang benar-benar nyata” Jawabku dingin. Tiba-tiba sekilas aku teringat beberapa kenangan saat aku benar-benar menyukai seseorang ketika SMA. Hanya saja perasaan itu pada akhirnya cuma menguap bagai awan lalu menghilang perlahan, setelah sebelumnya meninggalkan segores luka. Lebih dari itu aku tetap merasa baik-baik saja dengan kesendirianku.
Hening lagi. Dihadapanku, aku masih melihat Rian menatapku penuh arti, arti yang tak bisa kuterjemahkan sama sekali. Tatapan matanya begitu dalam, bahkan seperti berusaha memasuki hati dan memastikan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Ingin kubuang pandangan, tapi gagal. Mata itu seperti memiliki daya tarik kuat yang membuatku enggan kehilangan tatapan itu.
“Kamu pernah merindukan aku nggak Nuy” Tanya Rian lagi dengan suara pelan, nyaris tak terdengar sambil melepaskan tatapannya dari mataku lalu sedikit menunduk.
“Pernah…” Jawabku tak kalah pelan, aku meraih gelas tehku dan minum seteguk. Rian kembali mengangkat wajahnya begitu mendengar jawabanku.
“Pernah?” Rian mencoba meyakinkan jawabanku “Seberapa banyak Nuy?” Rian kembali bertanya.
“Entahlah, aku nggak bisa memastikan seberapa banyak. Kadang aku berusaha melupakan perasaan itu, karena aku merasa itu tak ada gunanya” Jawabku tertahan.
“Kadang? artinya kamu nggak benar-benar ingin melupakan perasaan itu dong?” Tanya Rian penuh selidik, ia pun mengangkat gelasnya lalu meminum beberapa teguk tehnya.
Aku bingung harus menjawab apa, apa yang diucapkan Rian barusan memang benar adanya. Aku memang tak benar-benar yakin ingin melupakan rasa rindu yang pernah muncul. Karena sejujurnya akupun pernah menyesal karena mengakhiri hubungan kami dengan sikap egois. Suasana kembali hening, aku tak punya kata-kata lagi yang bisa kukatakan untuk menjawab pertanyaan Rian. Aku hanya bisa memandangi gelas tehku yang sudah kosong setengahnya, lalu meraihnya perlahan.
“Nuy…” Rian kembali memanggil namaku, nama ini cuma Rian yang menggunakannya untuk memanggilku. Aku pun kembali menatap wajahnya, yang juga masih terlihat sama seperti 5 tahun lalu. Seperti senyum hangatnya yang juga tak pernah berubah setelah tahun berganti sebanyak 5 kali.
“Kamu tahu nggak, seberapa banyak aku memikirkan tentang kamu selama bertahun-tahun ini? Kamu tahu nggak seberapa banyak aku menahan hatiku ketika perasaan rindu itu hadir? Kamu pernah nggak mikirin seberapa banyak aku mencoba untuk menemui kamu diluar sana?” Rian menatapku dalam dengan tatapan teduhnya. Seakan dia benar-benar ingin aku memahami apa yang selama ini dia simpan sendirian.
Dan lagi-lagi aku terdiam. Aku tahu Rian, aku sangat tahu perasaan seperti itu. Karena aku pun pernah merasakannya, bagaimana gelisahnya hatiku saat memikirkan dia. Bagaimana aku selalu bertanya-tanya sendiri tentang perasaannya padaku. Aku sangat tahu bagaimana sesaknya merindu seseorang yang tak pernah memandangku. Dan seperti apa sulitnya mencoba untuk menemuinya. Dia yang kamu tak pernah tahu. Aku sangat paham rasa itu Rian. Aku hanya bisa menjawab semua pertanyaan Rian dalam hati.
“Aku tahu” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirku, pelan sekali. Kupikir mungkin Rian tak akan mendengarnya.
“Pasti, kamu pasti tahu kok Nuy” Ujar Rian lagi sembari tersenyum. “Aku sempat menyesal dulu, menyesal karena nggak berusaha bertahan. Menyesal karena membiarkan kamu pergi begitu saja” Rian tersenyum lagi, tampak jelas dimatanya jika kini dia merasa sedikit lega. Mungkin karena dia sudah berhasil menumpahkan rasa sesak dihatinya.
“Pernah nggak kamu berpikir untuk kita kembali bersama lagi seperti dulu Nuy?” Kali ini tampak jelas diwajahnya ekspresi itu, ekspresi penuh harap. Ekspresi yang sama ketika dia pertama kali memintaku menjadi pacarnya di kelas 3 SMP.
Degghh..!!! sekali lagi debaran tak wajar ini muncul, aku hanya terdiam, walau sebenarnya hati dan pikiranku panik bukan main. Aku merasa dalam dadaku seperti sedang terjadi badai dahsyat. Rasa gelisah, terkejut, tak percaya, bingung dan berbagai perasaan serba entah. Terlalu sulit untuk dijelaskan, bahkan untuk menatap Rian pun rasanya sulit. Tanganku hanya bisa menggenggam erat gelas teh yang sedari tadi kupegang.
            Ibarat ingin maju berperang, aku tak memiliki sebuah senjata pun yang bisa kugunakan. Aku benar-benar mati kata. Tak tahu harus menjawab apa. Sementara Rian diseberang sana, sudah menunggu jawabanku dengan senyumannya yang selalu terlihat sangat mempesona.

^_^ * * * ^_^ 
 To be continue...
Di Batas Asa "Part 1"                                                                         Di Batas Asa "Part 3"