Sabtu, 28 November 2015

Di Batas Asa "Part 6 - Ending"


              Aku baru saja keluar dari dalam ruangn sidang Skripsiku. Aku bersyukur semuanya berjalan dengan lancar, dosen penguji pun hari ini tampaknya tak begitu berminat membantaiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang kejam. Alhasil kini aku sudah bisa bernafas lega hingga hari itu tiba. Kulihat Zian sudah ada disana, dikursi tunggu.
              "Gimana eksekusimu? sakit nggak pertanyaannya? mudahan nggak sesakit aku minggu lalu ya hahaha.." Zian tampak mencoba membantu menenangkan aku.
              Aku ikut tertawa, mengingat bagaimana pucatnya wajah Zian saat sidang skripsinya minggu lalu. Selain demam panggung, Zian juga punya penyakit maag yang cukup parah. Dan sialnya lagi minggu lalu sebelum disidang, Zian tak nafsu makan, dan lupa meminum obat maag-nya. Jadilah maag-nya kambuh ditengah-tengah sidang. Namun beruntung dia tak ambruk ditempat saat itu.
              "Sudah lama datang?" Tanyaku ikut duduk disebelah Zian.
              "Lama banget, aku tadinya ingin menyemangatimu sebelum kamu masuk ruang sidang, tapi sayangnya aku telat hehehe... kamu udah keburu masuk. Aku sampai ikut-ikutan gugup juga waktu kamu didalam, akhirnya aku cuma bisa berdoa mudah-mudahan semuanya lancar dan baik-baik aja" Jawab Zian.
              "Makasih ya sudah datang, makasih juga do'anya. Meskipun kamu nggak datang aku tahu kok, temen keceku ini pasti mendo'akan aku hehehe..." Jawabku cengengesan.
              "Akhirnya kamu nyadar juga kalau aku tampan... hmmm..." Zian mulai lagi sok cool
              "Dih... kapan aku bilang kamu tampan? Ge er banget" Jawabku seraya berdiri lalu menuruni tangga menuju lantai dasar.
              "Heyaaaa... Nggak mempan banget digodain nih anak, eh mau kemana?" Tanya Zian sembari menyusulku. "Makan siang bareng yuk, anggep aja kita ngerayain kelulusan duluan hahaha..." Zian mulai ngelantur lagi, konyol.
              Aku tetap melangkah cepat menuju lobi, akhirnya Zian berhasil menyusul langkahku dengan terburu-buru. Dia bersikeras mengajakku makan siang bareng. Kemudian spontan aku menghentikan langkah dan nyaris saja Zian menubrukku dari belakang.
              "Mau makan dimana emang?" Tanyaku, setelah aku teringat penyakit maag Zian.
              "Rumahku aja yok, Ibu masak bakwan udang lho" Untuk kesekian kalinya Zian mengajakku makan dirumahnya. Sekalian aku balikin Hardisk mu, kemarin sore aku kekostmu. Tapi kulihat kamu lagi ada tamu dan tampak ngobrol serius" Jawab Zian.
              Aku hanya menghela nafas pelan "Kamu bilang sama Ibu kalau hari ini aku sidang?" Tanyaku pada Zian
              "Semalem Ibu tanya, katanya kapan kamu sidang juga, ya namanya orang tua nanya ya aku jawablah, trus tadi pagi Ibu bilang ajak kamu makan siang dirumah aja hari ini" Jawab Zian menjelaskan.
              Zian adalah teman dekatku setahun ini, sejak kami bertemu saat pertama kali aku menemui dosen pembimbing skripsiku. Benar-benar sebuah kebetulan kami dibimbing oleh dosen yang sama. Meskipun kami beda angkatan. Tapi sikapnya yang tidak sok senior itu membuatku nyaman berkomunikasi dengannya. Seringkali kami membicarakan skripsi kami atau saling bantu saat melakukan riset dilapangan. 
               Seminggu yang lalu setelah selesai sidang Zian memberiku pernyataan, pernyataan yang sebenarnya sudah kuketahui. Tapi aku tak menyangka jika dia akan mengungkapkannya hari itu. Pernyataan bahwa Dia menyayangiku lebih dari sekadar teman. Aku bisa memahami itu dengan baik, dan Zian pun tak memaksaku memberi jawaban secepatnya. Sehingga aku tak merasa terbebani atau merasa dikejar waktu. Bagi Zian untuk saat ini, kami bisa sedekat ini masih cukup baginya hingga saatnya tiba.
              "Lalu kamu bilang sama Ibu juga kalau kamu suka sama aku?" Tanyaku penuh selidik.
              "Ya engga, aku nggak sedekat itu sama Ibu, buat aku perasaanku itu privasi" Jawab Zian serius "Kenapa? Malu ya kalau Ibu tahu?" Tanya Zian Balik.
              "Hmmmm... Entahlah.." Jawabku 
              Seketika kami sama-sama terdiam, aku tak tahu apa Zian pikirkan, tapi aku tetap merasakan kehangatan dari sorot matanya. Aku dapat melihat dengan jelas kebahagian yang tergambar diwajahnya hari ini. Kupikir ini adalah waktu yang tepat memberinya jawaban. Aku tak ingin Zian terus merasa berada dalam ketidakpastian.
               "Zian, kita duduk disitu dulu yuk, ada yg mau aku bicarakan" Ujarku sambil menunjuk kursi yang ada didekat pintu lobi.
               "Boleh, yuk" Jawab Zian yang langsung beranjak perlahan menuju kursi.
               Setelah kami duduk, aku kembali menatap Zian, suasana di gedung ini tidaklah seramai gedung perkuliahan, hanya ada beberapa mahasiswa dan staff akademik saja yang berlalu lalang. Sehingga aku tak perlu merasa terganggu.
               "Sebelumnya aku mau bertanya sama kamu, kamu sudah merasa yakin kalau kamu ingin menjalani hubungan seperti itu denganku? Gimana kalau ternyata aku belum bisa move on?" Tanyaku hati-hati.
               Zian diam, aku juga ikut terdiam. Kemudian Zian menatapku, lalu meraih jemariku, dia tersenyum. "Aku tahu sebenarnya kamu itu juga sayang sama aku" Ujar Zian penuh percaya diri.
              "Tahu dari mana?" Tanyaku heran
              "Soalnya kalau kamu engga sayang, ngapain kamu mikirin aku yakin apa nggak. Kamu bilang kayak gini karena kamu nggak mau aku terluka dikemudian hari kan? kalau soal move on, aku memang nggak punya kuasa apa-apa terhadapmu. Karena itu bener-bener mesti dari dirimu sendiri yang niat, yang aku bisa lakukan hanya mendukung penuh. Tapi aku yakin kamu pasti bisa move on" Jawab Zian mantap.
              "Mungkin kamu masih ragu, tapi aku ngerti bahasa tubuh kamu kalau kamu juga sebenernya sayang sama aku, soalnya... ehmmm... aku tahu aku ini tampan" Zian malah mulai sok cool yang bikin aku tak bisa menahan tawaku.
               "Hadeeeehhh... somplak, ni lagi serius napa jadi ngelantur gitu ngomongnya bang hahaha...?" Jawabku sambil tertawa.
               "Bang? kamu kira aku abang odong-odong? huh..." Zian mengerucutkan bibirnya sok manyun. Seraya berpura-pura melepaskan genggaman tangannya dariku.
               "Hehehe... ya udah kalau gitu, udah ngerti kan ya, nggak usah pakai segala bilang Yes or No lagi kan?" Tanyaku seraya tersenyum.
              "Ehh... nggak bisa mbak, harus itu hehehe.." Jawab Zian lagi sambil tersenyum manja.
              "Halah nggak usah sok romantis, nggak cocok" Jawabku seraya berdiri.
               Dan saat itu aku kembali dibuat terkejut melihat sosok yang amat kukenali, sosok yang kemarin sore baru saja menyambangi kostku, Rian. Aku melihat Rian berjalan kearahku dengan senyuman khasnya. Aku memandang Zian, lalu menatap Rian yang kini hanya berjarak 10 langkah dariku. Aku menatapnya dalam, spontan Rian menghentikan langkahnya. Kemudian Zian juga ikut berdiri, dia memegangi pergelangan tanganku.
               "Kamu kenapa?" Tanya Zian, aku tersenyum pada Zian. 
               "Nggak apa-apa, jadi kerumahmu?" Ujarku sembari memandang Zian.
               "Ya jadi, mau pergi sekarang?" Tanya Zian lagi.
               Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, "Sekarang aku mau bilang Yes ke kamu" Ujarku yakin. "Tapi aku mau bicara sebentar ya sama orang itu" Ujarku sambil menatap kearah Rian.
               "Oh cowok yang kemarin, Oke" Jawab Zian sambil tersenyum.
               Dengan langkah pasti kuhampiri Rian yang kini juga melangkah kearahku. Satu hal yang kuyakini aku sudah tahu apa yang akan aku katakan pada Rian hari ini.
               Tanpa basa basi aku langsung memulai pembicaraan "Rian, maaf ya soal yang kemarin sore. Aku terburu-buru sekali" Ujarku 
               "Iya nggak apa-apa lagi pula kemarin juga sudah terlalu sore, aku kemalaman juga sampai rumah. Sudah selesai sidangnya?" Tanya Rian kembali disertai senyum khasnya.
               "Iya sudah sekitar setengah jam yang lalu, makasih sudah datang" Aku berusaha tersenyum sebaik mungkin, meskipun sebenarnya aku masih agak canggung.
               "Oh gitu, selamat ya sudah sampai tahap ini, mudahan kedepannya lebih baik lagi" Ucapan Rian terdengar begitu tulus. "Aku sudah mengerti kok dengan apa yang kamu ucapkan kemarin" Lanjutnya lagi.
               "Syukurlah kalau begitu, aku balik dulu ya sudah ditunggu soalnya" Ujarku seraya menoleh kepada Zian memberinya isyarat agar segera menghampiriku.
               "Oke, hati-hati dijalan" Rian kembali tersenyum lalu menepuk pundakku seraya berkata pelan "Hemmm... pacarmu tampan, selamat ya jangan lama-lama pacarannya, ntar keburu basi"
                Aku hanya mengangguk, kemudian dengan mantap kugenggam erat tangan Zian lalu bersama-sama berjalan keluar gedung.
               Dalam hati aku tak henti bersyukur pada Tuhan, yang telah memberiku kekuatan dan keyakinan menapaki episode baru ini. Entah kenapa disaat melihat Rian tadi, tiba-tiba aku merasa amat lega, benar-benar tak ada lagi beban rasanya. Ibarat menulis sebuah cerita, aku sudah menjumpai halaman terakhirnya dan kini siap menuliskan cerita baru pada buku berikutnya. Dan kuberharap buku ini adalah buku terakhir yang dapat kutulisi cerita hingga aku tutup usia.


Dibatas Asa "Part 5"



2 tahun kemudian
            
            Sore ini kutatap slide power point dilayar laptopku, slide yang kubuat kali ini terasa sangat spesial. Karena slide ini bukan sekedar untuk presentasi kelas biasa. Slide ini adalah slide yang akan kugunakan untuk pertanggung jawaban skripsiku pada sidang besok siang. Slide yang isinya kurancang sebaik dan semudah mungkin untuk ku kuasai. Meskipun sudah tampak komplit, tapi sejak kemarin tetap saja aku merasa "Ah ini masih ada yang kurang, tapi apa?" perasaanku ini menjadi wajar mengingat aku tampaknya mengalami Nervouse Syndrom kegugupan yang sama yang kualami saat pertama kali aku melakukan presentasi makalahku di kelas 2 SMU dulu. Khawatir yang berlebihan bahkan kadang panik sendirian karena takut performance-ku nanti berantakan didepan para dosen penguji.
              Tok... tok... tok..!!!
            Lamunanku buyar saat kudengar suara ketukan pintu. Aku bergegas berdiri lalu membuka pintu kamar kostku. Ketika pintu terbuka, seperti biasa Nayla langsung menerobos masuk tanpa peduli dengan ekspresiku.
              "Mau menjarah buku apa komik?" Tanyaku sambil tersenyum
              "Hehehe... tau aja non, aku pinjem novelmu dong. Yang ber-setting kota Moscow Russia itu loh, apa ya judulnya kemarin aku lupa?" Jawab Nayla cengengesan.
              "Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy itu?" Tanyaku sambil mulai memilah-milah buku di rak bukuku.
              "Naahhh.. iya itu, bener. Sekalian sama komik serial misterimu yang aku lihat kemarin ya? udah kelar kan bacanya?" Lanjut Nayla
              "Oh itu, tuh disamping bantal, baru semalam selesai. Nah ini Novelnya" Ujarku begitu menemukan Novel yang diinginkan Nayla dari puluhan Novel yang tersusun rapi di rak bukuku, kemudian Novel tersebut kuberikan kepada Nayla.
               "Okeh, tengkyu non, pinjem dulu ya. Oh ya mau makan apa ntar malem? aku mau masak nih, udah lama kita nggak makan malem bareng kan? gara-gara kamu sibuk sama skripshitmu itu" Ujar Nayla sok ngomel.
               "Tumben masak, tapi aku nggak bisa bantuin masak lho, masih prepare buat sidang besok, eh tapi kamu nggak makan malam sama mas Angga mu itu?" Tanyaku seraya kembali duduk didepan laptopku.
                "Ah kamu pasti nggak tau kalau aku udah putus sama Mas Angga 2 bulan yang lalu, sibuk mulu sih... Huh.." Jawab Nayla sambil berpura-pura buang muka.
                "Haaa... yang bener kamu Nay? perasaan kamu pacaran sama dia kan belum sebulan" Tanyaku dengan raut wajah heran.
                "Udah nggak usah dibahas, lagian aku udah punya pacar baru kok hahaha... namanya Wira" Jawab Nayla tertawa seolah perkara punya pacar baru adalah hal yang sangat lucu. "Emangnya kamu 2 tahun kok nggak bisa move on, jomblo kok jadi hobby... preettt" Nayla mulai meledekku lagi.
               "Eh perempuan, hati-hati kalau bicara. Kalau tiba-tiba ketemu aku di luar lagi gandengan tangan mesra sama cowok tampan jangan ngamuk ya hahaha..." Balasku menjawab ledekan Nayla.
               "Halaahhh... buktikan dulu dong huuu..." Jawab Nayla seraya berlalu dari kamarku, lalu langsung masuk kamarnya yang terletak berhadapan dengan kamarku.
               Semenit kemudian aku kembali mendengar suara cempreng Nayla dari dalam kamarnya.
               "Non mau sekalian dimasakin nggak nih, gratis kok mau makan apa?" Ujarnya setengah berteriak, tampaknya Nayla sudah menuju dapur.
               Aku menjulurkan kepala keluar dari pintu lalu menjawab "Terserah kamu aja, aku ngikut Nay"
               "Oke, baiklah" Sahut Nayla
               Ketika aku akan menutup pintu kamar, aku mendengar ada suara motor berhenti didepan pagar kost, spontan aku langsung menuju teras. Kupikir itu pasti Zian, soalnya siang tadi Zian meng-SMS aku bilang mau datang mengembalikan Hardisk Eksternal milikku yang dia pinjam saat meng-copy film dari temannya. Namun bukan Zian yang kudapati saat sosok yang turun dari Motor itu membuka pagar lalu masuk.
              "Assalamu'alaikum" Sosok itu mengucapkan salam sambil tersenyum, sosok yang sukses membuatku terpaku ditempatku berdiri saat ini.
              "Rian..." Ujarku tertahan, "Eh.. Wa'alaikumsalam" Jawabku ketika teringat barusan Dia mengucapkan salam. Aku langsung menyadari situasi dan tiba-tiba aku jadi merasa canggung akan kehadiran Rian kembali.
              "Apa Kabar?" Tanya Rian, pertanyaan basa basi yang biasa sekali. "Lama ya nggak ketemu, boleh aku duduk Nuy?" Lanjut Rian
             "Oh iya, silahkan duduk. Kabarku baik walau sedang terkena Nervouse Syndrom" Jawabku apa adanya setelah pulih dari rasa terkejutku barusan.
             "Lho kenapa gugup? kaget ya liat aku tiba-tiba muncul?" Tanya Rian seraya kembali tersenyum. Senyum yang dulu begitu berarti untukku, namun terasa biasa saja saat ini.
             "Ah bukan gitu, soalnya besok aku mau sidang skripsi, jadi ya sindrom-sindrom nggak enak gitu mulai muncul" Jawabku mencoba menjelaskan agar Rian tidak salah paham.
             "Lho ada tamu kok nggak bilang-bilang? Aku buatin minum ya, mau teh mas?" Tiba-tiba Nayla sudah berdiri di depan pintu.
            "Iya boleh, jangan terlalu manis ya nanti diabetes" Jawab Rian dengan nada ramah pada Nayla.
            "Makasih ya Nay, maaf ngerepotin kamu" Ujarku pada Nayla
            "Okey, slow aja non" Jawabnya lalu menuju dapur.
            Semenit berlalu, tanpa ada yang bicara, baik aku maupun Rian sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian kuputuskan untuk buka suara duluan.
            "Ada perlu apa?" Tanyaku tanpa basa basi pada Rian
             "Hmmmm... apa ya, nggak sih cuma mau ngobrol-ngobrol aja sama kamu, nggak apa-apa kan?" Tanya Rian yang tetap stay dengan senyumannya.
            Sebenarnya aku sih merasa tidak apa-apa, hanya saja aku merasa canggung kalau dikunjungi seseorang yang pernah punya hubungan spesial denganku secara tiba-tiba begini. Terlebih dia sudah punya istri. Kemudian Nayla datang dengan 2 cangkir teh, lalu kembali ke dapur setelah sebelumnya senyum-senyum mencurigakan padaku. Seakan aku bisa melihat ada tulisan "Ciyeeee yang disamperin cowok tampan" dijidatnya.
             "Nggak apa-apa sih, cuma lain kali ajak istrimu lah. Aku nggak enak loh kalau seperti ini Rian. Kalau misal kebetulan ada orang yang kenal kamu atau istrimu kan bisa-bisa terjadi kesalahpahaman" Lanjutku berterus terang.
             Seketika ekspresi wajah Rian berubah, senyum itu langsung hilang. Dia meraih cangkir teh lalu meminumnya seteguk "Aku sudah berpisah dengannya, jadi kamu nggak perlu khawatir" Jawab Rian sembari meletakkan cangkir teh ketempatnya semula.
            Aku kembali dibuatnya terkejut, dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa lelaki ini selalu membawa kejutan tiap kali bertemu denganku kembali. Aku tak mengerti, kenapa hal semacam ini harus terjadi padaku, seolah bayangan masa lalu itu enggan pergi dari kehidupanku. Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang barusan kudengar.
            "Maksudmu, kamu...." Belum selesai aku melanjutkan kalimatku Rian menyela.
            "Iya, aku sudah bercerai Nuy" Ujar Rian seraya menghela nafas dalam.
            Aku kembali terdiam, aku tak mau berkomentar. Entah kenapa aku merasa aku tak berhak untuk berkomentar atas kehidupan Rian. Aku berpikir aku tak perlu bertanya mengapa mereka berpisah. Tidak, aku memang tidak ingin bertanya. Karena aku memang tidak ingin tahu, aku tidak ingin tahu sedikitpun tentang kisah Rian sebelumnya. Namun ditengah kebisuan kami berdua, tiba-tiba Rian mulai bercerita, aku sungguh tak ingin mendengar kisahnya. Aku berusaha acuh, aku berusaha tak peduli dengan cara bungkam. 
             Namun tetap saja Rian tetap bercerita, dan aku tak punya pilihan lain selain mendengarkan kisahnya. Ia mengatakan bahwa sejak Ia menikah, dia tak pernah lagi berpikir seperti apa masa depan. Dia hanya menjalani hidup selayaknya orang yang hidup. Setahun berlalu Istrinya tak jua kunjung hamil. Rian tak peduli, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dan anak bagi orang tuanya itu dianggapnya sudah lebih dari cukup. Dia tak ingin memikirkan apa yang di rasakan oleh Istrinya. 
             Hingga pernikahan mereka menginjak 19 bulan, Istrinya mulai meminta Rian berterus terang. Meskipun dikenal sabar, istri Rian tidaklah bodoh. Dia akhirnya mempertanyakan hal yang disebut kasih sayang pada Rian. Istrinya merasa Rian tak pernah menyayanginya selama 19 bulan mereka menikah. Dan Rian tanpa merasa canggung mengiyakannya. Setelah hari itu, Istrinya jarang sekali mau mengajak Rian bicara, hingga sebulan kemudian mereka memutuskan berpisah.
            "Setelah kami berpisah entah mengapa aku kembali memikirkan kamu Nuy, maaf" Ujar Rian, Dia berkata sembari menatap lurus kearah pekarangan dengan tatapan kosong.
            "Aku tahu ini tak sepantasnya aku katakan Nuy, tapi..."
            "Kamu ingin kita kembali seperti dulu?" Ujarku seraya menatap tajam kearah Rian. "Tolong katakan kalau apa yang barusan aku bilang itu salah" Lanjutku makin tajam.
            "Aku tahu kamu pasti tidak akan pernah mau melanjutkan hubungan kita, tapi maaf memang benar seperti itu yang aku harapkan" Rian menjawab tanpa berani menatap wajahku sedikit pun.
            "Tolong jangan membuatku goyah, aku masih butuh waktu untuk melupakan apa yang terjadi dulu Rian" Untuk beberapa saat hening diantara kami, lalu aku pun melanjutkan "Udah mau maghrib, sebaiknya kamu lekas pulang" Aku bergegas berdiri lalu langsung masuk ke dalam tanpa mendengar jawaban Rian.          

^_^ To Be Continue...^_^

Di Batas Asa "Part 4"                                                                            Dibatas Asa "Part 6 - Ending"