Aku baru saja keluar dari dalam ruangn sidang Skripsiku. Aku bersyukur semuanya berjalan dengan lancar, dosen penguji pun hari ini tampaknya tak begitu berminat membantaiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang kejam. Alhasil kini aku sudah bisa bernafas lega hingga hari itu tiba. Kulihat Zian sudah ada disana, dikursi tunggu.
"Gimana eksekusimu? sakit nggak pertanyaannya? mudahan nggak sesakit aku minggu lalu ya hahaha.." Zian tampak mencoba membantu menenangkan aku.
Aku ikut tertawa, mengingat bagaimana pucatnya wajah Zian saat sidang skripsinya minggu lalu. Selain demam panggung, Zian juga punya penyakit maag yang cukup parah. Dan sialnya lagi minggu lalu sebelum disidang, Zian tak nafsu makan, dan lupa meminum obat maag-nya. Jadilah maag-nya kambuh ditengah-tengah sidang. Namun beruntung dia tak ambruk ditempat saat itu.
"Sudah lama datang?" Tanyaku ikut duduk disebelah Zian.
"Lama banget, aku tadinya ingin menyemangatimu sebelum kamu masuk ruang sidang, tapi sayangnya aku telat hehehe... kamu udah keburu masuk. Aku sampai ikut-ikutan gugup juga waktu kamu didalam, akhirnya aku cuma bisa berdoa mudah-mudahan semuanya lancar dan baik-baik aja" Jawab Zian.
"Makasih ya sudah datang, makasih juga do'anya. Meskipun kamu nggak datang aku tahu kok, temen keceku ini pasti mendo'akan aku hehehe..." Jawabku cengengesan.
"Akhirnya kamu nyadar juga kalau aku tampan... hmmm..." Zian mulai lagi sok cool
"Dih... kapan aku bilang kamu tampan? Ge er banget" Jawabku seraya berdiri lalu menuruni tangga menuju lantai dasar.
"Heyaaaa... Nggak mempan banget digodain nih anak, eh mau kemana?" Tanya Zian sembari menyusulku. "Makan siang bareng yuk, anggep aja kita ngerayain kelulusan duluan hahaha..." Zian mulai ngelantur lagi, konyol.
Aku tetap melangkah cepat menuju lobi, akhirnya Zian berhasil menyusul langkahku dengan terburu-buru. Dia bersikeras mengajakku makan siang bareng. Kemudian spontan aku menghentikan langkah dan nyaris saja Zian menubrukku dari belakang.
"Mau makan dimana emang?" Tanyaku, setelah aku teringat penyakit maag Zian.
"Rumahku aja yok, Ibu masak bakwan udang lho" Untuk kesekian kalinya Zian mengajakku makan dirumahnya. Sekalian aku balikin Hardisk mu, kemarin sore aku kekostmu. Tapi kulihat kamu lagi ada tamu dan tampak ngobrol serius" Jawab Zian.
Aku hanya menghela nafas pelan "Kamu bilang sama Ibu kalau hari ini aku sidang?" Tanyaku pada Zian
"Semalem Ibu tanya, katanya kapan kamu sidang juga, ya namanya orang tua nanya ya aku jawablah, trus tadi pagi Ibu bilang ajak kamu makan siang dirumah aja hari ini" Jawab Zian menjelaskan.
Zian adalah teman dekatku setahun ini, sejak kami bertemu saat pertama kali aku menemui dosen pembimbing skripsiku. Benar-benar sebuah kebetulan kami dibimbing oleh dosen yang sama. Meskipun kami beda angkatan. Tapi sikapnya yang tidak sok senior itu membuatku nyaman berkomunikasi dengannya. Seringkali kami membicarakan skripsi kami atau saling bantu saat melakukan riset dilapangan.
Seminggu yang lalu setelah selesai sidang Zian memberiku pernyataan, pernyataan yang sebenarnya sudah kuketahui. Tapi aku tak menyangka jika dia akan mengungkapkannya hari itu. Pernyataan bahwa Dia menyayangiku lebih dari sekadar teman. Aku bisa memahami itu dengan baik, dan Zian pun tak memaksaku memberi jawaban secepatnya. Sehingga aku tak merasa terbebani atau merasa dikejar waktu. Bagi Zian untuk saat ini, kami bisa sedekat ini masih cukup baginya hingga saatnya tiba.
"Lalu kamu bilang sama Ibu juga kalau kamu suka sama aku?" Tanyaku penuh selidik.
"Ya engga, aku nggak sedekat itu sama Ibu, buat aku perasaanku itu privasi" Jawab Zian serius "Kenapa? Malu ya kalau Ibu tahu?" Tanya Zian Balik.
"Hmmmm... Entahlah.." Jawabku
Seketika kami sama-sama terdiam, aku tak tahu apa Zian pikirkan, tapi aku tetap merasakan kehangatan dari sorot matanya. Aku dapat melihat dengan jelas kebahagian yang tergambar diwajahnya hari ini. Kupikir ini adalah waktu yang tepat memberinya jawaban. Aku tak ingin Zian terus merasa berada dalam ketidakpastian.
"Zian, kita duduk disitu dulu yuk, ada yg mau aku bicarakan" Ujarku sambil menunjuk kursi yang ada didekat pintu lobi.
"Boleh, yuk" Jawab Zian yang langsung beranjak perlahan menuju kursi.
Setelah kami duduk, aku kembali menatap Zian, suasana di gedung ini tidaklah seramai gedung perkuliahan, hanya ada beberapa mahasiswa dan staff akademik saja yang berlalu lalang. Sehingga aku tak perlu merasa terganggu.
"Sebelumnya aku mau bertanya sama kamu, kamu sudah merasa yakin kalau kamu ingin menjalani hubungan seperti itu denganku? Gimana kalau ternyata aku belum bisa move on?" Tanyaku hati-hati.
Zian diam, aku juga ikut terdiam. Kemudian Zian menatapku, lalu meraih jemariku, dia tersenyum. "Aku tahu sebenarnya kamu itu juga sayang sama aku" Ujar Zian penuh percaya diri.
"Tahu dari mana?" Tanyaku heran
"Soalnya kalau kamu engga sayang, ngapain kamu mikirin aku yakin apa nggak. Kamu bilang kayak gini karena kamu nggak mau aku terluka dikemudian hari kan? kalau soal move on, aku memang nggak punya kuasa apa-apa terhadapmu. Karena itu bener-bener mesti dari dirimu sendiri yang niat, yang aku bisa lakukan hanya mendukung penuh. Tapi aku yakin kamu pasti bisa move on" Jawab Zian mantap.
"Mungkin kamu masih ragu, tapi aku ngerti bahasa tubuh kamu kalau kamu juga sebenernya sayang sama aku, soalnya... ehmmm... aku tahu aku ini tampan" Zian malah mulai sok cool yang bikin aku tak bisa menahan tawaku.
"Hadeeeehhh... somplak, ni lagi serius napa jadi ngelantur gitu ngomongnya bang hahaha...?" Jawabku sambil tertawa.
"Bang? kamu kira aku abang odong-odong? huh..." Zian mengerucutkan bibirnya sok manyun. Seraya berpura-pura melepaskan genggaman tangannya dariku.
"Hehehe... ya udah kalau gitu, udah ngerti kan ya, nggak usah pakai segala bilang Yes or No lagi kan?" Tanyaku seraya tersenyum.
"Ehh... nggak bisa mbak, harus itu hehehe.." Jawab Zian lagi sambil tersenyum manja.
"Halah nggak usah sok romantis, nggak cocok" Jawabku seraya berdiri.
Dan saat itu aku kembali dibuat terkejut melihat sosok yang amat kukenali, sosok yang kemarin sore baru saja menyambangi kostku, Rian. Aku melihat Rian berjalan kearahku dengan senyuman khasnya. Aku memandang Zian, lalu menatap Rian yang kini hanya berjarak 10 langkah dariku. Aku menatapnya dalam, spontan Rian menghentikan langkahnya. Kemudian Zian juga ikut berdiri, dia memegangi pergelangan tanganku.
"Kamu kenapa?" Tanya Zian, aku tersenyum pada Zian.
"Nggak apa-apa, jadi kerumahmu?" Ujarku sembari memandang Zian.
"Ya jadi, mau pergi sekarang?" Tanya Zian lagi.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, "Sekarang aku mau bilang Yes ke kamu" Ujarku yakin. "Tapi aku mau bicara sebentar ya sama orang itu" Ujarku sambil menatap kearah Rian.
"Oh cowok yang kemarin, Oke" Jawab Zian sambil tersenyum.
Dengan langkah pasti kuhampiri Rian yang kini juga melangkah kearahku. Satu hal yang kuyakini aku sudah tahu apa yang akan aku katakan pada Rian hari ini.
Tanpa basa basi aku langsung memulai pembicaraan "Rian, maaf ya soal yang kemarin sore. Aku terburu-buru sekali" Ujarku
"Iya nggak apa-apa lagi pula kemarin juga sudah terlalu sore, aku kemalaman juga sampai rumah. Sudah selesai sidangnya?" Tanya Rian kembali disertai senyum khasnya.
"Iya sudah sekitar setengah jam yang lalu, makasih sudah datang" Aku berusaha tersenyum sebaik mungkin, meskipun sebenarnya aku masih agak canggung.
"Oh gitu, selamat ya sudah sampai tahap ini, mudahan kedepannya lebih baik lagi" Ucapan Rian terdengar begitu tulus. "Aku sudah mengerti kok dengan apa yang kamu ucapkan kemarin" Lanjutnya lagi.
"Syukurlah kalau begitu, aku balik dulu ya sudah ditunggu soalnya" Ujarku seraya menoleh kepada Zian memberinya isyarat agar segera menghampiriku.
"Oke, hati-hati dijalan" Rian kembali tersenyum lalu menepuk pundakku seraya berkata pelan "Hemmm... pacarmu tampan, selamat ya jangan lama-lama pacarannya, ntar keburu basi"
Aku hanya mengangguk, kemudian dengan mantap kugenggam erat tangan Zian lalu bersama-sama berjalan keluar gedung.
Dalam hati aku tak henti bersyukur pada Tuhan, yang telah memberiku kekuatan dan keyakinan menapaki episode baru ini. Entah kenapa disaat melihat Rian tadi, tiba-tiba aku merasa amat lega, benar-benar tak ada lagi beban rasanya. Ibarat menulis sebuah cerita, aku sudah menjumpai halaman terakhirnya dan kini siap menuliskan cerita baru pada buku berikutnya. Dan kuberharap buku ini adalah buku terakhir yang dapat kutulisi cerita hingga aku tutup usia.



