Rabu, 11 Februari 2015

Bersahabat Dengan Logika "Part 1"


Tiga puluh menit sudah aku duduk di Halte Bus ini, tapi angkutan umum yang kutunggu tak kunjung muncul. Tak jarang aku dibuat dongkol dengan kondisi seperti ini setiap kali aku akan pulang kuliah. Sudah beberapa tahun belakangan ini, angkutan umum kulihat makin sedikit saja, dikalahkan oleh kendaraan-kendaraan pribadi berplat dalam maupun luar kota Samarinda. Kulirik arloji sekali lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 38 menit. Langit sudah semakin gelap dan hanya menyisakan sedikit semburat jingga diufuk barat. Perlahan gerimis turun, dan aku jadi makin gelisah. 

Jika malam ini hujan maka aku akan semakin sulit mendapatkan angkutan umum menuju kostku. Kekhawatiran lain muncul, mengingat jika hujan lebat yang mengguyur kota Samarinda turun lebih dari satu jam saja, maka akan terjadi banjir dibanyak titik disetiap bagian Kota, bahkan pusat Kota pun tak luput dari genangannya. Seiring detik demi detik jarum jam yang terus berdetik, aku makin tak sabar menunggu angkutan umum yang lewat untuk membawaku kembali pulang ke kost. 

Rasa dingin yang mulai muncul, membuatku kembali merapatkan jaket Jeans kusam yang biasa kupakai. Kuputuskan untuk duduk dibangku halte sambil tetap mengamati jika ada angkutan umum yang lewat. Tak lama kemudian ponselku bergetar, kulihat layar ponsel ada panggilan masuk, tertera nama Arfan disitu, lalu segera kujawab.

"Ya hallo, kenapa Ar?" Tanyaku.

"Kamu lagi dimana Ra? Bbm ku ga dibaca?" Arfan balik bertanya padaku.

"Masih nunggu angkot nih, di tempat biasa, sorry aku nggak tau ada Bbm masuk, soalnya HP ku masih silent" Ujarku menjelaskan.

"Oh gitu, ya udah hati-hati dijalan, nanti kalau sudah sampai kost kabarin ya?" Kata Arfan.

"Harus ya aku selalu laporan sama kamu kemana-mana?" Balasku sewot yang sudah terlanjur bad mood.

"Iya dong, aku mesti tau kamu disana gimana Ra, kan kita nggak selalu bisa bareng tiap hari. Setidaknya aku tau gimana keadaan kamu" Jawab Arfan tenang.

"Ya udah, kenapa nggak sekalian aja kamu kirimin aku Bodyguard buat ngawal aku kemana-kemana" Jawabku makin sewot.

"Ya enggak segitunya juga kali Ra, kamu kok sewot sih?" Ujar Arfan yang terdengar kebingungan dengan sikapku yang tiba-tiba emosi.

"Habisnya kamu tuh bikin kesel, aku tuh juga disini punya kesibukan kali, nggak penting banget setiap waktu ngabarin kamu, Bbm nggak dibaca aja udah langsung ditelponin, Bbm nggak sempet bales aja udah langsung protes" Jawabku makin kesal.

"Eh kok jadi marah? Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu kenapa sih Ra?" Tanya Arfan.

"Kamu tuh yang kenapa, udah berapa kali aku bilang, nggak usah khawatir berlebihan gitu kenapa sih? aku bukan anak kecil kali, yang kemana-mana harus dimonitor terus. Aku bisa ngelakuin semuanya sendiri tanpa kamu komentari terus, posesif tau nggak kamu tuh, aku nggak suka!" Jawabku makin sengit.

"Ra, aku nggak bermaksud posesif, aku gini tuh karena aku sayang sama kamu, kamu tau itu kan?" Ujar Arfan membela diri.

"Sayang? Udah Basi alesan kamu! Asal kamu tahu, yang namanya sayang juga pake logika" Jawabku ketus, lalu aku menutup telepon.

Beberapa detik kemudian ponselku kembali bergetar, dilayar kembali tertera nama Arfan, dengan perasaan yang masih dongkol ku reject berkali-kali panggilan dari Arfan. Aku kembali memperhatikan kondisi jalan, di kejauhan tampak angkutan umum yang kutunggu berjalan pelan. Aku mencoba menghentikan, namun sang sopir tak menepi, setelah dekat barulan aku tahu alasannya kenapa sopir tak berhenti. Penumpang dalam angkutan terlihat penuh dan sudah sesak. 

Akupun kembali kebangku, sesaat aku baru menyadari ternyata di halte ini aku tak lagi sendiri. Ada seorang pemuda lain yang juga tengah menunggu. Ia tengah asik dengan ponselnya. Berbeda denganku yang dengan sigap memperhatikan lalu lintas, pemuda ini tampak santai saja duduk dibangkunya, sepertinya ia tak terburu-buru. Lepas dari memperhatikan pemuda itu sekilas, aku merasa udara kencang berhembus, tetes-tetes hujan yang tadinya kecil mulai membesar, langit sudah sepenuhnya gelap. Aku makin gelisah, sebab biasanya jika hujan lebat dan banjir, gang sempit tanpa parit menuju kost ku juga pasti tergenang cukup dalam.

Beberapa menit kemudian hujan makin deras mengguyur kota Samarinda, aku yang tadinya berdiri ditepi halte terpaksa mundur 3 langkah demi menghindari cipratan air hujan yang membasahi lantai halte. Sekali lagi aku merapatkan jaketku untuk mengurangi rasa dingin yang mulai menjalar. Pemuda yang asik dengan ponselnya tadi kini menatap kearahku,sambil tersenyum sekilas dia mempersilahkan aku duduk.

"Duduk saja dulu mbak, dari pada berdiri. Ini kan masih banyak bangku kosong" Ujarnya padaku.

"Iya terima kasih" Jawabku sambil duduk di bangku disudut kanan halte.

"Kok jauhan mbak? Tenang saya nggak gigit kok" Jawabnya seraya tersenyum.

"Iya nggak apa-apa, dingin soalnya jadi merapat ketembok biar nggak dingin-dingin banget" Jawabku beralasan.

"Gitu ya" Lalu pemuda itu beranjak dari bangkunya kemudian berjalan kesisi halte sebelah kiri lalu meraba tembok dengan tangannya. "Wah iya bener, temboknya hangat mbak" Ujar pemuda itu lagi, lalu ia duduk sambil bersandar pada sisi tembok halte bagian kiri.

Tak lama kemudian hujan mulai reda, hanya gerimis yang tersisa, aku kembali melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit. Begitu aku ingin beranjak dari tempat dudukku, tiba-tiba pemuda tadi melompat dari bangkunya lalu menghentikan sebuah angkutan umum yang tengah lewat. Aku pun bergegas pula ikut menghampiri angkutan tersebut. Pemuda itu mempersilahkan aku naik terlebih dahulu. Aku pikir pemuda tadi mungkin juga akan naik angkutan yang sama denganku, tapi ternyata setelah aku duduk dalam angkutan, pemuda itu malah dengan santainya kembali ke halte lalu duduk di bangku yang tadi dia tempati. Aku hanya sempat melihat ia melambaikan tangannya saja, sebelum akhirnya angkutan umum membawaku semakin menjauhi halte.

* * *

Sekitar 20 menit kemudian aku turun dari angkutan umum tak jauh dari Gang kecil meuju kost ku. Jalan sudah digenangi air sebatas pergelangan kakiku. Aku pasrah saja akhirnya melepas sepatuku lalu dengan kaki telanjang menghampiri warung kecil disamping Gang. Hujan sudah reda dan menyisakan genangan air yang makin meninggi. Dengan sisa uang yang kumiliki diawal bulan ini aku membeli beberapa butir telur ayam dan 4 bungkus mie instant serta sekaleng kecil ikan sarden dengan harga paling murah, ditambah sebungkus kecil abon sapi sebagai cadangan lauk. Akhir-akhir ini hujan turun lebih intens, terkadang dimalam hari ketika akan membeli beberapa makanan keluar hujan turun. Dan mau tak mau aku makan malam dengan yang ada dikostku saja. 

Setelah selesai membeli bahan makanan aku berjalan perlahan menerobos banjir yang dalamnya sudah hampir selutut didalam Gang sempit menuju kostku. Setiba dikost aku meletakkan belanjaanku diatas meja kecil, dimana setumpuk buku-buku kuliah juga kuletakkan. Tak banyak tempat kosong untuk meletakkan barang dikamar kost kecil dengan harga sewa empat ratus ribu rupiah perbulan. Lalu aku kekamar mandi mencuci kaki kemudian kembali kekamar dan merebahkan diri sejenak ditempat tidur.

Lima menit kemudian aku menyimpan belanjaanku kedalam wadah penyimpanan yang kumiliki. sekaligus mengambil segelas beras dan memasukkannya kedalam mangkok plastik untuk kucuci didapur. Dapur yang kumaksud bukanlah dapur sebagaimana biasanya. Hanya ada sebuah tempat pencucian piring dan meja rendah tempat dispenser yang bahkan sudah rusak pemanasnya. Tak ada kompor apalagi perlengkapan memasak layaknya sebuah dapur. Semua aktivitas memasak baik itu memasak nasi maupun memanaskan makanan kaleng atau memasak makanan instant kulakukan dikamar, dengan membiarkan jendela kamar atau pintu tetap terbuka sedikit. setelah memasukkan beras kedalam Rice Cooker miniku, akupun beranjak membersihkan diri kekamar mandi. Meskipun cuaca dingin tetap kupaksakan mandi, agar aku merasa lebih segar.

Setengah jam kemudian aku siap menyantap makan malamku yang sederhana. Ketika makan malamku hampir tandas, ponselku yang tergeletak di tempat tidur kembali berdering, sesaat aku melirik ada panggilan dari Ayah. Aku menghentikan sejenak kegiatan makan malamku, lalu menjawab panggilan itu. 5 menit kemudian setelah sambungan diakhiri aku melanjutkan melahap sisa makan malamku. Ayah memberitahukan aku jika akhir minggu ini ingin pulang kerumah, adik ku bisa menjemput setelah aku usai bekerja, dan aku pun menyetujuinya. Lagi pula memang sudah waktunya aku menyempatkan pulang kerumah orang tuaku di desa yang hanya bisa kulakukan sebulan sekali disela-sela kesibukanku kuliah sambil bekerja.

Kemudian aku membuka laptopku dan mempelajari beberapa jurnal yang akan kujadikan referensi untuk mengajukan judul skripsi. Sudah 5 judulku ditolak oleh dosen pembimbing, hal ini tentu saja membuat aku gelisah. Selain karena waktu dan perhatianku tersita pula oleh pekerjaan, aku juga harus tetap fokus pada beberapa mata kuliah akhir yang tengah kutempuh. Ditambah pula Arfan yang selalu menuntut perhatian dan sering kali membuatku kewalahan menghadapinya.

Saat aku asyik mempelajari beberapa jurnal, ponselku berbunyi, menandakan ada pesan masuk lewat Bbm. Aku menyempatkan diri membaca isi pesannya yang ternyata dari Arfan.

Arfan : Lagi sibuk?
Me    : Baca Jurnal
Arfan : Aku mau telpon

Belum sempat aku membalas pesan, dilayar ponsel tertera nama Arfan. Dengan perasaan enggan akhirnya aku menjawab panggilan itu.

"Ra, udah sampe kost? udah makan?" Tanya Arfan

"Udah" Jawabku singkat

"Oh oke deh" Ujar Arfan lagi

"Udah gitu aja?" Tanyaku

"Hemmm.. ya" Jawabnya

"Ya udah" Lalu telepon kututup dan kulempar pelan kekasur, kemudian melanjutkan kegiatanku membaca jurnal.

Malam itu waktu terasa cepat berlalu, tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat 5 menit. Akupun mematikan laptop dan bersandar pada bantal dipembaringanku, kuambil sebuah buku berjudul "The Uncensored Of Bung Karno" kubuka halaman bagian tengah dimana ada pembatas buku yang terselip. Aku kembali melanjutkan membaca biografi tokoh proklamator Negara ini, setelah beberapa hari tak sempat kubaca. Kekagumanku pada sosok kharismatik beliau membuatku semakin ingin tahu sejarah hidup orang nomor satu pertama di Indonesia ini. Setelah melewatkan lebih dari 7 halaman, aku pun mulai diserang kantuk yang cukup kuat, hingga akhirnya aku terlelap sendiri dikesunyian malam. 
 
*To Be Continue*